Mengapa Para Disney Princess dan Perempuan di Seluruh Dunia Harus Independen

Sumber gambar: redtri.com


Oleh: Laras Olivia


Aku rasa si Jasmine itu sosok perempuan yang keren, dia punya ambisi yang lebih besar daripada dilamar seseorang atau diberi serangkai bunga.


***
"Aladdin" mendominasi box office akhir pekan ini. Film yang bercerita tentang anak jalanan yang hidup bersama monyet bernama Abu di negeri Agrabah. Dia kemudian jatuh hati dengan putri sultan bernama Jasmine, yang tentu saja beda kasta dengannya. Aladdin dan Abu kemudian menemukan lampu ajaib berisi jin yang kemudian memberikan tiga permintaan untuk dikabulkan. Yaaa.. Filmnya tak jauh bedalah sama animasi Disney Aladdin tahun 1992.


Sutradara berkebangsaan Skotlandia—Guy Ritchie menyuguhkan film rasa komedi, petualangan dan musikal. Ini membuat penonton bernostalgia untuk film versi 1992, tapi dengan gaya yang lebih modern, meriah, dan patut diapresiasi.

Aku dan tiga temanku pergi ke bisokop demi film Disney yang sangat diincar. Tidak ada yang bisa melupakan sosok Putri Jasmine, Aladdin, Jin, dan lagu legendaris "A Whole New World". Penonton memenuhi kursi bioskop malam itu.

Waktu kecil dulu..., saat menonton serial Princess Disney, aku hanya berpikir bahwa sang putri hanyalah mahkluk lemah yang menunggu diselamatkan oleh pangeran berkuda. Atau, seorang putri yang disiksa ibu tiri, terkekang dalam rumah atau istana. Tapi Putri Jasmine dalam film ini sudah mulai mendobrak kemerdekaan atas dirinya.

Putri Jasmine yang diperankan oleh NaomiScott itu berambisi ingin menjadi sultan. Dia khawatir dengan keadaan rakyat dan keberlangsungan kerajaan. Diam-diam dia keluar istana dan menyamar seperti warga biasa. Di pasar, ia melihat anak yang kelaparan yang kemudian ia berikan roti. Scene ini jadi mengingatkanku dengan sosok Umar bin Khatab. Seorang khalifah yang berjalan pada malam hari ke rumah-rumah warga, lalu ia mendapati rumah seorang janda dengan dua orang anaknya yang sedang kelaparan dan memasak batu. Tentu saja Khalifah Umar merasa bersalah dan menjemput makanan ke istana (lah kok jadi cerita Umar...cukup!).

Sepertinya Ritchie lebih menyoroti soal seberapa tuluskah kita berperilaku terhadap sesama manusia. Berbeda dengan film animasinya yang lebih pada penggambaran suatu suku atau ras. Tapi sayangnya, masih ada penggambaran stereotip terhadap budaya Arab. Salah satunya pada lagu "Arabian Nights", memberikan konotasi kurang baik. Meski terasa segar, menjelang akhir cerita terasa seperti—sedikit anti klimaks.

Stereotip tentang perempuan juga beberapa kali terlihat dan terdengar. Sultan tidak membiarkan putrinya keluar istana hanya karena rasa takut yang berlebihan. Lalu, ia menjodohkan Jasmine dengan Prince Anders. (Egois kalilah bapak Jasmine ini).

Tapi, tentu saja Putri Jasmine menolak dinikahkan dengan sembarang pangeran. Inilah yang menjadi fondasi karakternya yang dibuat lebih relevan dengan era modern. Cerita menjadi lebih emosional dan berkarakter.

Selebihnya, kalimat memojokkan perempuan keluar dari muncung perdana menteri sultan yang sok tau—bernama Jafar. Seperti saat perdebatan ketika Putri Jasmine ingin berbicara dan mengutarakan keinginannya untuk jadi sultan.

"Sudahlah Putri Jasmine, kau lebih baik tidak terlihat dan tidak didengar," kata Jafar (tapi kayaknya ini ndak pas karena aku sedikit lupa gimana kalimatnya).

"Aku ingin menjadi sultan, aku sudah membaca banyak buku," bantah Jasmine.
Lalu Jafar bilang "membaca buku saja tidak sebanding dengan pengalaman." Aih! Jengkel ndak bacanya? Sok taulah si Jafar itu.

Di saat-saat galau seperti itulah Jasmine bertemu Aladdin yang kemudian berambisi mendapatkan hati si putri sultan.

Aladdin berhasil mendapatkan lampu ajaib berisi jin dan meminta untuk dijadikan pangeran. Taraaaa..! Jadilah ia Prince Ali dalam sekejap. Aladdin, Abu, Jin beserta rombongannya datang ke istana untuk melamar Jasmine. Tapi karena suatu hal.. entahlah, Jasmine ndak tertarik dengan semua itu.

Belakangan ini rasanya Disney ndak mau—hanya menampilkan karakter utama cewek yang cuma bermodalkan kecantikan. Seperti Merinda—tokoh Disney Princess yang ahli memanah. Kelakuannya sama sekali tidak persis seorang putri. Rambut keritingnya ndak pernah disisir. Merinda menolah mentah-mentah ketika akan dijodohkan dengan laki-laki dari tiga klan yang bakal bertamu ke kerajaannya. Dia ungkapkan semua pendapatnya meski itu menentang semua hal yang lumrah pada masanya.

Tokoh lainnya adalah Belle dari Beauty and the Beast. Ia gadis yang gemar membaca dan kritis pada masanya. Ada juga Moana, sosok pemimpin bagi sukunya. Figur cewek mandiri, ndak gampang nyerah, dan mampu bertahan dalam berbagai situasi sulit.

Mereka mengajarkan pada kita semua bahwa menjadi diri sendiri bukanlah suatu kesalahan. Lalu, menjadi seorang putri bukanlah peran untuk menunggu diselamatkan pangeran, dijodohkan dengan pangeran...ah itu cerita klasik! Sekarang, seorang putri harus begerak, berguna, dan menyelamatkan orang-orang di sekitarnya. Bukan hanya cantik, tapi punya otak cerdas dan berhati besar.

Sang ayah—The Sultan baru tau nih, keberanian putrinya ketika lampu ajaib jatuh ke tangan Jafar yang ingin menjadi penyihir jahanam. Ketika sultan dibuat lumpuh dan Putri Jasmine berani speak-up. Tapi dia bicara lewat lagunya—Speechless. (Yah, itulah kesalahanorangtua saat menganggap remeh kemampuan anaknya...hosssh! Sok bijak).

Lagu Speechless dibawakan dua kali. Ketika Jasmine ingin menjadi sultan dan ketika ia menyadari bahwa harus berjuang untuk apa yang diinginkan. Lirik lagu ini sebagai tanda Jasmine berbicara langsung kepada penonton, tentang apa yang dia rasakan dan inginkan.

Dalam film itu, aku sedikit merasa jika peran Aladdin cenderung besar hanya untuk mendapatkan hati sang putri. Sedangkan peran Jasmine lebih pada memikirkan rakyat dan kerajaan. Dia sangat gelisah. Selama ini hanya terkurung di istana, membaca buku, dan hanya tau tempat-tempat dari melihat peta.

Tapi ndak menutup kemungkinan ketika Jasmine dan Aladdin bersatu untuk memimpin Agrabah. Mengingat riwayat Aladdin yang pernah merasakan hidup susah dan tau seluk beluk wilayah Agrabah.

Tapi...ada komentar lucu dari seorang gadis kecil bernama Madison yang lagi trending topic minggu ini. Dia punya pandangan berbeda tentang beberapa aspek dari dongeng klasik.
Ibu Madison Jade memposting video di instagram, lalu bertanya padanya tentang film tersebut. Khususnya saat Aladdin membawa Jasmine keliling untuk melihat dunia dengan karpet ajaibnya.

Bocah empat tahun itu bilang, "Jasmine doesn't need Aladdin to see the world," lalu ibunya tanya mengapa begitu?

"Because, you didn't need a boy to take you to see the whole world with a boy, there's not enough space on the carpet," begitu ia ungkapkan argumennya. Hahaha, lucu ndak? Iyaa sedikit bikin gemessss!

Aku ulang lagi ya dia bilang, "THERE'S NOT ENOUGH SPACE ON THE CARPET."

Banyak komentar yang memuji atas argumen bocah yang dapat membangkitkann girls power, like.. Yooo! Goo girls! Ahahaa.

Tapi ada pula yang sinis bilang, ah itu doktrin mamaknya aja itu. Like "proof of 'the breakdown family' another godless feminist mother taking away childhood. This isn't funny."

Yaa begitulah. Aku jadi ikut mikir, argumen bocah itu ada bagusnya, tapi sedikit egois. Benar dia katakan kalau Jasmine tak perlu lah tunggu Aladdin untuk keliling dunia. Dengn sedikit keberanian, dia dan semua harta kekayaan yang dimiliki sudah bisa keliling dunia sepuasnya.

Yang egoisnya dari statement bocah, yaa kau pikirlah itu karpet ajaib siapa yang nemuin? Aladdin WOI. Sadar. Malah mau disabotase. Ahaha. Yauda, sekarang tuh baiknya akur-akur aja ngurus Agrabah.

Lagian, gegara statement si bocah itu banyak juga bapak-bapak yang gembira. Mereka bilang "i love you girl, holiday next week my wife talk to me just to stay at home!"

Ahahaha... Go girls!

Mengapa Para Disney Princess dan Perempuan di Seluruh Dunia Harus Independen Mengapa Para Disney Princess dan Perempuan di Seluruh Dunia Harus Independen Reviewed by Asique on 6/23/2019 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.