Oleh: Janaek Simarmata
Memakan daging babi atau tidak, bukanlah menjadi pakem suatu adat Batak. Karena setiap orang punya alasan masing-masing, untuk itu adat Batak tetaplah kujunjung.
***
Bisa dibayangkan
bagaimana perkara memasak daging babi bisa berakibat keributan di rumah. Kala itu
Ibuku memanaskan daging babi yang ia bawa dari acara pesta adat Batak. Ibuku yang
menyukai daging babi lalu membungkusnya dan membawa daging itu ke rumah untuk
disantap kembali. Sontak saja Bapakku marah besar dan hampir saja membuang
daging babi beserta wajan pemanasnya.
Ternyata Bapakku
tidak bisa memakan daging babi. Alasan yang ia katakan adalah, karena sejarah
nenek moyang kami. Namun ia tidak bercerita sampai tuntas, sehingga aku sering
kebingungan saat mendapat pertanyaan serupa dari teman-temanku.
Terlepas dari
makan daging babi atau tidak, Bapakku termasuk orang Batak yang sangat kental dalam
menganut kepercayaannya. Yang membuat berbeda hanya Bapakku tidak makan daging babi. Jangankan makan, menyentuhnya pun
enggan. Kalau
makan di pesta adat Batak, ia harus memastikan makanannya bukan daging babi dan
bukan dimasak bekas wajan masakan daging babi.
Sebenarnya babi adalah hewan ternak yang
dikonsumsi selama ribuan tahun oleh orang Eropa dan Asia kebanyakan. Beberapa suku bangsa
Indonesia yang masih menjalankan tradisi aslinya mengonsumsi daging babi antara
lain,
suku Dayak, Bali, Toraja, Papua, Manado,
dan Batak.
Babi biasanya
menjadi hewan ternak untuk kemudian dikonsumsi atau dijual. Tidak sulit
memelihara babi karena betinanya melahirkan anak cukup banyak dalam sekali lahiran, membuatnya cepat berkembangbiak. Babi juga hewan omnivora yang dapat bertahan
hidup dengan berkeliaran di alam bebas dan memakan apa saja.
Pada masa manusia masih
tergolong susah dalam hidup, di hutan mereka
memanfaatkan babi hutan sebagai hewan peliharaan. Babi menjadi salah satu hewan
ternak masyarakat pedalaman, orang batak pada umumnya. Secara turun temurun, babi dikenalkan sebagai
santapan pada pesta adat resmi. Pada
saat itu juga masyarakat mengenal babi sebagai konsumsi utama di sebuah pesta
adat.
Dalam pesta adat
orang Batak, selalu identik dengan masakan dari daging babi. Pesta pernikahan,
syukuran, hingga prosesi kematian. Acara yang digelar dengan adat Batak pasti menyajikan babi sebagai seserahan ataupun santapan utama. Karena itulah orang Batak dikenal sebagai
penyantap daging babi.
Aku begitu paham
dan mampu
membedakan daging babi dengan daging yang lainnya. Bau daging babi sangat khas. Dengan mencium aromanya
saja aku sudah bisa pastikan kalau masakan itu adalah daging babi. Bentuk
potongannya juga berbeda dangan hewan berkaki empat lainnya. Daging babi terlihat
sedikit putih kalau tidak dicampur dengan darahnya saat dimasak. Kulitnya juga
terlihat lebih tebal ketika sudah disajikan.
Sejumlah orang
bisa mamakan daging babi ataupun tidak, dengan alasan yang berbeda pula. Di rumahku,
hanya Ibu dan abangku yang mengonsumsi daging babi. Sedangkan aku dan kedua kakakku sama
seperti Bapak, tidak memakan daging babi. Tidak ada alasan khusus
bagiku kalau ditanya kenapa tidak makan daging babi, aku hanya mengikuti Bapakku. Berbeda dengan kakakku—anak ketiga, ia merasa
gatal jika makan daging babi. Itu terbukti ketika pesta pernikahan abangku.
Aku sedikit aneh dengan
keadaan ini, tapi aku
jadi merasa ini adalah hidupku. Tanpa daging babi aku tetap menjadi orang Batak, walau kadang
diolok-olok temanku dengan sebutan “Batak dale” yang artinya Batak jadi-jadian. Aku menanggapi itu
adalah sebuah gurauan. Sesekali mereka menantangku memakan daging babi dan
memberiku hadiah jika aku mampu menelannya.
Pengalaman burukku terhadap daging babi ketika menginap
di rumah teman. Saat makan malam, ibunya
menghidangkan
daging babi dengan aroma khasnya. Karena ruangan sedikit tertutup, aku
tidak bisa menahan aroma yang tidak biasa kunikmati. Aku coba menahan, namun
aroma itu makin menusuk. Akhirnya aku izin ke toilet dan muntah.
Saat kembali ke ruang makan, daging
dalam satu wadah itu sudah tidak ada. Hanya ada di masing-masing piring
temanku dan keluarganya. Sembari
makan, Bapak temanku bertanya
“mengapa kamu tidak bilang kalau
tidak bisa makan
daging babi?,” aku
hanya tersenyum. Mujur mereka menghargai, namun nafsu makannku sedikit
hilang.
Itu menjadi pengalaman
terburukku dengan daging babi. Aku semakin tidak bernafsu untuk menikmati daging babi, bahkan
aromanya sekalipun. Tapi aku tidak ingat jika sewaktu kecil pernah disuapi makan daging babi saat acara pesta, entahlah. Aku memercayai alasan Bapakku pasti sangat kuat kenapa ia tidak
memakan daging babi. Bapakku juga tetap Batak dan sangat patuh dengan adatnya. Tetap ada babi
sebagai seserahan di setiap pesta keluarga kami. Seperti saat pernikahan abangku, daging babi tetap
menjadi santapan utama di pesta.
Semua teman dekatku
mengetahui kalau aku tidak makan daging babi, tetapi aku tetap berteman baik
dengan mereka. Tidak jarang mereka juga mau mengajakku ke rumah makan khas Batak yang menu utamanya
babi panggang. Jarang
aku menolak ajakan mereka. Hanya karena aku tidak memakan
daging babi,
bukan berarti aku mengharamkan daging babi dan tidak berteman dengan mereka yang
menikmati.
***
Janaek Simarmata a.k.a Jansim, pemuda Batak asal Siantar yang merantau ke Pekanbaru dan kini sebagai mahasiswa Teknik Mesin. Sedang mencoba menikmati hidup tanpa larangan
apapun, dan mencoba hal-hal baru yang belum pernah dicobanya. Jika kalian mau
kenal lebih dekat, follow instagramnya @jansim2505. Jangan lupa like, komen,
share, dan subscribe channel youtube “Ilustrasi Jansim”.
Aku Tak Lagi Makan Babi Sebab Sejarah Keluarga
Reviewed by Asique
on
10/16/2019
Rating: