Joker Bukan Hanya Sekedar Manifesto Badut Psycho, Ia Representasi dari Kita Semua; Masyarakat Kelas Bawah

www.artstation.com/Shimamoto


Oleh: Laras Olivia



Sejak penayangan film Joker, aku risih dengan bertebarnya kalimat mutiara soal perilaku menyimpang di media sosial, “Orang jahat lahir dari orang baik yang tersakiti.” Ya tuhan, ingin rasanya aku berkata kasar. Bodat!

***

Pada 3 Oktober lalu, aku dan dua temanku pergi ke bioskop menonton film besutan sutradara asal Amerika, Todd Phillips. Sebelumnya, Joker dikabarkan menuai kontroversi dari beberapa kritikus film. Banyak yang mengatakan kalau film Joker didominasi oleh aksi kekerasan. Selain itu, dituding sangat rasial, provokatif dan membingungkan.

Sehingga, Biro Investigasi Federal Amerika Serikat mengeluarkan peringatan bahwa film Joker dapat memicu kekerasan secara nyata. Karena, pada 2012 lalu saat pemutaran film tengah malam The Dark Knight Rises di Colorado terjadi insiden penembakan oleh seorang pria yang mengaku dirinya “Joker”. Peristiwa tersebut menewaskan 12 orang dan 70 orang luka-luka.

Aku menjadi bertanya-tanya, apakah benar film Joker bisa memberi pengaruh yang memicu aksi kekerasan? Seberapa mengerikan film ini hingga begitu banyak menimbulkan kontroversi, selain membuat pemerintah Amerika menjadi waswas?

***

Penyiar radio membacakan berita mengenai penumpukan sampah di Gotham City, tikus-tikus berkeliaran, penyakit tifus, hingga naiknya harga minyak. Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) tengah mempertontonkan keahliannya dalam memutar sebuah papan promosi pada pembuka film. Kemudian, beberapa remaja datang mengusiknya dan mencuri papan tersebut. Arthur mengejar mereka tergopoh-gopoh. Naas, ia dijebak dan dihajar di sebuah gang penuh dengan tumpukan sampah. Ia ditinggal begitu saja setelahnya, diam tergeletak menahan sakit.

Selanjutnya, hal-hal nelangsa terus datang secara berturut-turut kepada Arthur. Hal ini membuatnya stres dan makin “meradang”. Ia dipecat dari pekerjaan brengseknya, miskin dan kesepian. Dan ia harus merawat ibunya yang sakit.

Setiap hari, ibunya menulis surat kepada Thomas Wayne (Brett Cullen), pemilik Wayne Enterprises sekaligus mantan bosnya 30 tahun lalu untuk meminta bantuan. Wayne kini sedang mencalonkan diri sebagai walikota Gotham. Tapi, surat-surat tersebut tidak pernah dibalas.

Arthur Fleck kemudian berusaha mencari pekerjaan dengan menjadi komika (sebutan beken di Indonesia buat pelaku Stand Up Comedy). Ia dianggap “aneh” karena mengidap Pseudobulbar. Penyakit itu membuatnya tertawa terbahak-bahak ketika dalam kondisi tertekan. Untuk itu, Arthur kerap menjadi korban bully dari orang-orang disekitarnya. Benar-benar pria malang yang hidup dalam kondisi kelam Gotham.

Pada saat Arthur berada di titik terendah dalam hidupnya, kisah masa lalu yang begitu kelam datang menyertainya—Ia sebenarnya adalah anak adopsi Penny Fleck (Frances Conroy). Wanita dengan masalah halusinasi berat akibat patah hati pada Thomas Wayne, yang saat ini ia percayai sebagai ibu kandungnya.

Di saat Arthur mencoba mengingat kembali masa-masa kecilnya, terlintas kenangan buruk oleh pacar ibunya. Ia sering dipukuli. Arthur akhirnya harus menghadapi ketidakberpihakan dunia padanya, dengan menampilkan ‘komedi’ yang tidak dimengerti orang lain. Bahan leluconnya adalah distorsi dari pengalaman pribadinya.

Di tengah situasi carut-marut, kehidupan Arthur kontras dengan pekerjaannya sebagai penghibur kota. Keadaan diperparah lagi dengan datangnya resesi ekonomi di Gotham, yang kemudian berdampak dihapuskannya jaminan kesehatan. Lantas, Arthur tak lagi mendapat perawatan kesehatan mental.

Maniak gila ini besar dari himpitan hidup yang khas—kelas sosial bawah.  Joker: Anti hero-hero club dipuja oleh golongan akar rumput. Ia lahir di rahim Gotham City, yang saat ini  menuju ambang kehancuran. Revolusi akan dimulai di Gotham.

Masyarakat Gotham berdemonstrasi memakai topeng badut dengan corak senyum bahagia—yang tentu saja berlawanan dengan kondisi kota itu. Arthur juga diincar sebagai badut vigilante Gotham yang memantik gerakan “Kill the Rich”. Sebuah gerakan anti kemapanan yang menolak kekuasaan berada di tangan orang-orang kaya.

Suatu keberuntungan, Arthur diundang ke suatu program talkshow di stasiun televisi karena lawakannya yang tak biasa menyebabkan kehebohan di muka publik—Murray Franklin Live Show. Acara tersebut dipandu oleh Murray Franklin (Robert De Niro).  Memang Arthur menyukai Murray secara personal, tapi entah kenapa ia mulai muak dengan program tersebut. Ia bahkan memperkenalkan diri sebagai Joker di sana, tidak ingin nama aslinya terungkap.

Di sela-sela perbincangan dalam talkshow tersebut, amarah Arthur lepas tak terkendali, “Kalau Walikota yang mati di jalan, kalian orang televisi ribut semua. Tapi, jika orang seperti aku, pasti kalian sudah melangkahi mayatku,” katanya murka. Lalu, dengan santuy-nya ia mengarahkan sebuah Revolver kepada Murray dan mencetuskan tiga buah tembakan.

Menonton film Joker membuat kita seakan tenggelam dalam pergulatan jiwa Arthur yang asing, gelap dan keruh. Oleh karenanya, muncul gambaran yang menganggap kejahatan Joker adalah hal yang sangat mungkin dan wajar terjadi. Kejahatan terjadi di setiap sudut kota Gotham—penjarahan, pembakaran dan aksi vandal.

Bukanlah suatu kebetulan kalau film ini seakan-akan mencerminkan kondisi masyarakat dunia yang lebih banyak memunculkan sederet ketidakadilan; ketimpangan ekonomi, korupsi, rasisme, pelecehan seksual, kekerasan, dan lain sebagainya. Persoalan tersebut kerap kali menimbulkankan serangkaian gangguan kejiwaan dan depresi, seperti halnya Arthur Fleck.

Joker telah mendobrak tatanan sosial-politik yang mengekang, menindas, dan merenggut segala hal yang berharga darinya. Dalam dunia aktual, kegilaan merupakan negativitas mendasar yang tak bisa dihapuskan dalam diri manusia. Aku dan juga kalian, memiliki potensi yang sama untuk menjadi Joker, atau melakukan kegilaan. Dan nyatanya, tak ada yang lebih gila daripada bentuk kekerasan struktural yang dilakukan negara kepada rakyatnya sendiri.

Ketika Arthur perlahan menyerah kepada kegeramannya, kita sudah ada pada titik mewajarkannya. Kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Kita mewajarkan pelampiasan dendamnya satu-persatu. Kita mewajarkan ia membunuh para pemabuk dari Wall Street, teman berengseknya, hingga ambisi ibunya sendiri. Kita mewajarkan apa yang dipikirkan Arthur sekaligus memuliakan kekerasan spektakulernya.

Menonton Joker bakal membuat sedih pada akhirnya, sekaligus lega seperti setelah buang air. Ada hari-hari di mana kita menginginkan dunia untuk berhenti berputar sejenak, dan sepenuhnya berakhir dengan tanpa luluh lantak. Berhasrat untuk menghancurkan hari-hari yang menyesakkan, sedih dan buntu.

Aku rasa Joker adalah sebuah karya penebusan dosa, dan The Dark Knight Rises adalah dosa yang ditebusnya. Seburuk-buruknya Joker, ia tidak pernah bermimpi untuk menjadi Batman, atau super hero manapun. Joker tidak punya kekuatan super atau perkakas ninja dan benda hebat lainnya untuk melawan. Ia tidak ingin pujian dari masyarakat. Hanya keadilan, kepuasan dan kehancuran.

“Kau dapatkan apa yang pantas kau terima!”—Joker.


Joker Bukan Hanya Sekedar Manifesto Badut Psycho, Ia Representasi dari Kita Semua; Masyarakat Kelas Bawah Joker Bukan Hanya Sekedar Manifesto Badut Psycho, Ia Representasi dari Kita Semua; Masyarakat Kelas Bawah Reviewed by Asique on 10/21/2019 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.