Oleh: Ardian Pratama
Tidak ada yang spesial dari Sepak Bola. Itu hanya aktivitas yang biasa-biasa saja, dan entah mengapa kalian bergembira karenanya.
***
Dulu, sewaktu jam pelajaran Olahraga di Sekolah Dasar, aku dan teman-teman biasanya bermain bola volley dan badminton. Karena hanya ada dua lapangan untuk jenis olahraga itu di sekolah. Jika ingin bermain sepak bola, kami harus pergi ke lapangan yang berada di luar pagar.
Kebetulan, sekolah dan lapangan sepak bola itu dekat sekali dengan rumahku. Setiap sore, biasanya aku dan kawan-kawan sudah pasti berkumpul di sana. Melihat anak-anak yang lebih besar bermain, dan berharap-harap dapat ikut bergabung. Kami-kami yang 'anak bawang' hanya berkesempatan untuk menjaga gawang saja. Jika bobol, kami harus terima untuk duduk lagi di pinggir lapangan.
Pada masa itu juga sedang ada pertandingan besar sepak bola di Jerman, yaitu Piala Dunia—World Cup. Ketika itu aku duduk di kelas 5, dan orang-orang dengan hebohnya membicarakan pertandingan itu setiap hari. Bahkan, orang tuaku rela-relanya memasang tiang antena untuk mendapat siaran yang diblokir stasiun TV.
Semenjak berakhirnya piala dunia, anak-anak di sekitar rumahku gandrung bermain sepak bola. Hampir setiap sore, lapangan tadi dipenuhi oleh anak-anak dan remaja. Mereka berlari ke sana ke mari dan berteriak seperti pemain bola sungguhan.
Aku lebih banyak duduk di pinggir lapangan dan menonton. Karena aku tak terlalu lihai dalam mengoper bola, atau bahkan mencetak gol. Lapangan hanya didominasi oleh anak-anak yang itu-itu saja.
Lama-kelamaan ada perasaaan muak muncul di benakku. Permainan tendang-menendang bola ini begitu diskriminatif. Hanya laki-laki jago menyepak bola saja yang boleh berada di lapangan. Kapan yang lain bisa belajar kalau yang mahir selalu berlagak songong?
Duduk di bangku SMP tak merubah cara pandangku soal dunia persepakbolaan. Aku malah memilih bermain basket atau tenis meja, ketimbang bermain sepak bola saat jam pelajaran Olahraga. Tambah lagi, manusia-manusia di lapangan sepak bola punya pemikiran serupa soal pemain yang pantas ada di sana—kuat, keren, jago, lincah dan macam-macam sifat maskulin lainnya.
Absennya aku di lapangan sepak bola kadang menjadi pemicu teman-teman merundungku. Aku dibilang letoy-lah, dicap bancilah, atau yang lebih buruk, "Pakai rok saja kau!". Tapi, aku tak perduli mau jadi apa jika tidak suka sepak bola. Bodoh amatlah bagiku.
Sebenarnya aku tak sendiri, ada juga dua atau tiga anak laki-laki lainnya di kelas. Kami-kami ini biasanya membentuk kelompok kecil. Kami akan bermain apa saja yang kami suka, dan menjauhi gerombolan anak-anak 'Sepak Bola'.
Guru Olahraga di sekolahku tak pernah perduli pada skema saat di lapangan. Ia hanya sedikit memberi teori pengantar barang 10-15 menit di awal pelajaran, dan membebaskan kami kemudian. Selanjutnya, ia akan duduk-duduk santuy sembari ngopi di pos satpam.
Sebenarnya, hal-hal mengenai persepakbolaan ini tak putus hingga di lapangan saja. Namun, merembet hingga ke permainan Playstation 2 yang kala itu sedang beken. Lagi-lagi, kalau tidak 'main bola' pasti dibilang lembek. Jadi, kalau aku ke tempat rental PS2, layar TV-ku sendiri yang gak ada lapangan hijaunya—aku mainnya GTA: San Andreas, Naruto Shippuden Ultimate Ninja atau WWE Smackdown!. Padahal gak kalah serunya.
Naik ke bangku SMA lebih absurd lagi. Sekolahku hanya punya pelatihan sepak bola khusus untuk atlit sekolah, dan hanya memperlombakan sepak bola di ajang tahunan. Sepak bola udah kayak segala-galanya, apalagi kala itu Piala Dunia termegah sedang dihelat di Afrika Selatan.
Orang-orang terlalu banyak omong soal sepak bola, seperti langit akan runtuh esok hari. Seakan-akan bermain atau membicarakan sepak bola adalah ritus penting di kehidupan. Lalu, yang tidak suka sepak bola dibagaikan sekam dalam api.
Aku sendiri sudah cuek-cuek bebek sama hinaan soal ketidaksukaanku terhadap sepak bola. Aku tak perduli soal Nobar dan liga-liga yang teman-temanku bicarakan. Kala itu, aku sedang hobi-hobinya membaca dan mengoleksi manga, serta menonton anime.
Buatku, tak ada tempat bagi sepak bola di diriku. Tidak suka ya tidak suka saja. Tidak bisa menggiring bola ya biasa-biasa saja seharusnya. Tidak nonton bola juga apa salahnya. Tidak ada masalah dengan itu semua. Toh, hidupku baik-baik saja kok.
Namun, sentimen terhadap orang yang tidak suka sepak bola itu yang jadi masalah. Menjadi masalah ketika sentimen tersebut berujung pada tindak perundungan. Rentetannya adalah anak-anak yang dirundung merasa tidak penting di komunitas, martabatnya rendah, depresi dan kehilangan potensi. Hanya gara-gara tidak bisa menyepak bola.
Kalau dipikir-pikir, apa hebatnya sepak bola? Apa lebih baik dari jenis olahraga lainnya? Apa yang main sepak bola itu merasa seperti menjadi Ironman? Apa rasanya anjing banget? Gak juga bgsd!
Ya itulah kenapa aku tidak menyukai sepak bola dan tetek bengeknya. Kalian yang suka sepak bola jangan Baper ya. Kalian itu biasa-biasa saja sebenarnya, sama seperti halnya aku saat ini menertawai sepak bola.
Salam olahraga!