The Devil All The Time/Nines Stories Productions |
Oleh: Bagus Pribadi
Seorang bocah laki-laki tengah bermain bersama anjingnya di pekarangan rumah. Tiba-tiba, sebuah mobil melesat masuk dan berhenti di hadapannya. Seorang pria turun dan mendekati bocah tersebut. Pria itu memeriksa mata lebam si bocah—anak laki-lakinya.
Kemudian, tiga tentara dalam suasana perang di Kepulauan Solomon menggantikan fragmen ayah-anak itu. Mereka mendapati seorang pria berlumuran darah yang disangkut di tiang salib. Salah seorang dari mereka mengacungkan pistol jenis Luger ke arah pria itu, dan dengan segera menggelegarkan dentuman duka ke udara.
Adegan ini menjadi bagian pembuka dalam film garapan Antonio Campos—The Devil All the Time (2020). Film yang mengambil latar tempat di Knockemstiff, Amerika Serikat, dan latar waktu pada Perang Dunia II dan Perang Vietnam.
The Devil All the Time fokus menyoroti perjalanan hidup Arvin Russell (Tom Holland) sebagai anak seorang veteran. Sepanjang film, ia dihadapkan dengan situasi yang tak menyenangkan dengan orang-orang yang tak menyenangkan pula.
Seperti seorang pendeta cabul bergaya parlente, Preston Teagardin (Robert Pattinson) yang menjadi sumber masalah bagi adik perempuannya—bukan adik kandung—Lenora Laferty (Eliza Scanlen) dan menyebabkannya berada dalam pelarian.
Juga, kisah pasangan Williard Russell (Bill Skarsgard) dan Charlotte Russell (Haley Bennett)—orang tua Arvin. Serta pasangan fotografer gila Carl Henderson (Jason Clarke) dan Sandy Henderson (Riley Keough).
Alur cerita yang kompleks juga membuat penonton harus menyusun puzzle cerita sampai detik penghabisan film. Latar waktu film silih berganti dari Perang Vietnam ke Perang Dunia II. Hal ini kadang membuat bingung.
Di sela-sela transisi cerita, narator selalu saja muncul, menuntun penonton untuk memahami film ini. Narator terlalu banyak ikut campur dan terkesan menggurui. Dari pertengahan film hingga bagian akhir semakin terasa memuakkan. Hal itu sangat menjengkelkan.
Mengurai Kegetiran
Ada beberapa film yang diangkat dari kasus pelecehan seksual oleh pendeta. Spotlight (2015), misalnya, menggambarkan cukup rinci bagaimana ratusan pendeta melakukan pelecehan seksual pada ribuan anak-anak yang tersebar di seluruh dunia.
Kemudian ada Colonia (2016), yang juga mengisahkan tentang seorang pendeta yang dituhankan, memiliki yayasan, dan melecehkan anak-anak yang ada di yayasannya. Setahun lalu, juga ada The Two Popes (2019) yang disajikan dalam bentuk komedi, film ini mengkritik dengan cara ringan nan sederhana terkait sikap para pendeta yang sebenarnya relevan dengan keadaan saat ini.
Meski ada beragam film yang mengangkat isu pelecehan seksual, The Devil All the Time sangat membekas karena memperlihatkan dengan rinci bagaimana kiat-kiat pendeta mengelabui korbannya dan mengatasnamakan tuhan di setiap aksi jahatnya.
Selain timpangnya relasi kuasa antara Pendeta Teagardin dengan korbannya, ia juga mengelabui korban dengan memutar balikkan fakta dan logika. Salah satu contohnya, Teagardin kerap melontarkan kata “delusi” sebagai senjata untuk membohongi korbannya.
Dalam The Devil All the Time, perubahan karakter bisa dilihat pada Arvin dan Williard. Arvin, misalnya, seiring bertambahnya usia, ia kian berani dan tangguh. Mata lebam yang diperlihatkan di awal film seolah-olah sirna dari hidupnya. Ia selalu berhadapan dengan orang-orang jahat dan nasib mereka selalu berakhir pada kematian di hadapan Arvin.
Di sisi lain, Williard, sebelumnya tak peduli dengan agama dan mengatakan malas pergi ke gereja saat diajak ibunya, Emma (Kristin Griffith). Tapi, saat ia sudah menikah dan memiliki anak, Williard menjadi seorang pendoa ulung. Bahkan kadang-kadang ia memaksa Arvin berdoa dengan lantang dan jangan menangis ketika di bawah salib yang didirikannya di tengah hutan.
Perasaan membabi buta terhadap agama ini juga dirasakan sepasang suami istri Roy Laferty (Harry Melling) dan Helen Hatton (Mia Wasikowska). Roy percaya dan sangat berpasrah diri kepada tuhan sehingga ia melakukan bermacam ritual yang merugikan orang lain. Mengorbankan sesuatu untuk mendapat suatu hal lainnya, yang pada akhirnya berujung sia-sia. Nasibnya tak jauh beda dengan Williard.
Tokoh-tokoh dalam The Devil All the Time, juga tak terkesan hanya sebagai pelengkap di tiap adegan, melainkan menegaskan posisinya yang penting melalui pesan-pesan yang disampaikan. Di sinilah kelebihan film ini, dan kemegahannya yang menggunakan dua latar waktu yang berbeda.
Skeptis Sejak dalam Pikiran
Penggunaan latar waktu pada Perang Dunia II dan Perang Vietnam menjelaskan bagaimana situasi di Amerika Serikat pada masa itu. Lewat film, Antonio Campos menyuguhkan keadaan warga sipil yang jauh dari sorotan pemerintahan Amerika Serikat.
Sebelumnya, Antonio Campos menyutradarai Christine (2016) berlatar waktu pada 1970 yang menyoroti kegundahan seorang reporter sebuah stasiun televisi yang berujung bunuh diri. Antonio Campos menyoroti hal-hal ‘kecil’ yang tak tampak di permukaan.
Begitu pula dengan The Devil All the Time, Perang Vietnam menandakan bahwasanya seolah-olah Amerika Serikat sudah beres dengan urusan dapurnya sendiri. Ketika Neil Sheehan dalam artikelnya menulis,
“Buruh di Saigon (kota di Vietnam) hidup, seperti sedia kala, di pemukiman kumuh yang pengap di pinggiran kota … bar dan rumah bordil, ribuan perempuan muda Vietnam merendahkan diri menjadi pramuria dan pelacur, geng preman, perampok, anak-anak menjual kakak-kakak perempuan mereka, dan pencopetan jadi wajah sehari-hari kehidupan urban.”
Narasi ini tak jauh beda dengan yang terjadi di Amerika Serikat, paling tidak lewat penjelasan film ini. Ketika Sandy menjadi pelacur di sebuah bar yang mengilhami Williard untuk kemudian menyalipkan anjing kesayangan anaknya.
Lalu, perlakuan suami istri psikopat, Carl dan Sandy yang menghabiskan setengah hidupnya untuk membunuh orang-orang demi kepuasan fotografi, yang jauh lebih parah dari perampok dan pencopetan yang dituliskan Sheehan.
Tentu saja ada perubahan situasi dan perilaku manusia seiring berjalannya waktu. Tapi, dalam film ini, ketaatan orang beragama secara membabi buta tak kunjung berubah. Perilaku egois manusia yang hanya mementingkan diri sendiri, baik untuk mendapatkan keuntungan yang diberikan Tuhan atau kepemilikan hal-hal kecil lainnya tampak jelas.
Contohnya, saat di kafetaria, seorang lelaki kumal masuk dan langsung diusir dengan ujaran “kafir”, walau lelaki kumal itu melontarkan permohonan terhadap “orang kristen baik”. Mungkin Max Stirner, seorang anarkis-egois, tahu ada kejadian begini ia akan bangkit dari kubur dan iri karena melampaui keegoisannya.
Di sisi lain, Arvin mencolok bak nabi dalam kisah-kisah para nabi. Ia dihadapkan dengan situasi yang sangat sulit dan mampu mengatasinya. Bahkan orang-orang terdekatnya juga belum tentu orang yang baik. Dan segala yang dilakukannya dalam konteks umum sebuah “kejahatan” semata-mata ia lakukan karena dorongan “kebenaran” yang mendorong kita mengatakan, “tak apa-apa melakukan itu”.
Sisi baiknya, hal seperti itu memang perlu dilakukan untuk bertahan hidup. Arvin memang diintimidasi sepanjang film, dan Antonio Campos yang memang berfokus pada Arvin sukses menyajikan ini.
Pada akhirnya, Antonio Campos berusaha menyajikan sudut pandang berbeda tentang sejarah, yang luput dari perhatian khalayak. The Devil All the Time adalah sebuah film yang bisa jadi cerminan untuk berperilaku skeptis, bahkan terhadap orang yang paling dekat dan kita sayangi.
Untuk melakukan itu, tentu saja banyak rintangan mulai dari keengganan kita untuk memikirkannya sampai tebalnya ragam perasaan dan hubungan dengan orang-orang terdekat. Tapi, hal semacam itu benar-benar perlu dilakukan jikalau orang terdekat dan kita sayangi sudah terjangkit fanatisme yang membahayakan. Paling tidak kita sudah mencegahnya.
—————