Orang bilang semua karya sastra itu bagus. Mohon maaf, gak dulu!
***
Dari apa yang kupelajari dalam hidup ini, semua
karya sastra itu bagus dan baik bentuknya. Akan tetapi, di antara karya-karya
bagus itu, terdapat karya-karya yang hebat pula. Menurutku, karya yang hebat
itu adalah suatu karya yang dapat mempengaruhi pembacanya, dalam makna apa
saja. Artinya, sebuah karya sastra yang hebat harus membuat suatu perubahan
dalam hidup si pembaca.
Untuk itu, aku yang seorang pembaca, mempunyai
buku-buku yang kuanggap karya sastra hebat. Buku-buku yang telah merubah pola
pikir dan sikapku terhadap berbagai fenomena-fenomena kehidupan. Aku akan sangat
senang jika buku-buku itu dapat juga kalian baca nantinya.
Buku pertama yang membuatku terkesan adalah The Book of Lost Things, karya John Connolly. Pada halaman belakang sampulnya ia
menulis, “Dongeng ini diperuntukkan bagi orang dewasa, terutama yang masih
ingat saat-saat Ketika masa kanak-kanak mulai berlalu dan jalan menuju
kedewasaan telah terbentang.”
Buku itu bukanlah buku John pertama yang
kubaca. Namun, aku merasa inilah puncak karyanya sebagai penulis. Buku itu
bercerita soal seorang bocah lelaki yang muak dengan kehidupan keluarga barunya,
yang kemudian tersesat di sebuah negeri di mana tokoh-tokoh dongeng yang selama
ini kita kenal bukanlah seperti yang kita kenal. David, si bocah tersebut,
tidak bisa terima dengan kenyataan itu. Ia memutuskan untuk mengambil alih
negeri tersebut dengan menjadi raja, dan mewariskan kitab misterius soal
sesuatu yang telah hilang. Sayang, buku ini pun ikut hilang dari perpustakaan
pribadiku sejak 2016 silam.
Sejak menghabiskan kisah itu, pandanganku
berubah soal memahami dunia fiksi. Fiksi tak harus dimulai dengan kesedihan dan
berakhir dengan kebahagiaan. Absurditas pun dapat menjadi opsi untuk memulai
dan mengakhiri sebuah karya sastra. Aku sendiri tak percaya rumus-rumus dalam proses
penciptaan karangan cerita. Jika ada begitu, apa menariknya kisah-kisah itu.
Kemudian, novel tersohor dari Promoedya Ananta
Toer, Bumi Manusia, menjadi buku kedua yang aku nobatkan sebagai karya sastra
hebat. Buku ini kukenal dari sebuah kutipan yang sangat fenomenal, “Seorang
terpelajar haruslah bersikap adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Karena penasaran, dan tak mampu membeli karena harganya
cukup mahal, aku meminjam buku ini dari seorang kerabat. Secara teknik
kepenulisan, tulisan Pram agak berbeda dari karya-karya mutakhir, mungkin
dipengaruhi oleh ejaan lama pada masa ia menulis. Tapi, tak membuat pembaca
masa kini sulit untuk mengerti lorong-lorong drama dalam kota B-nya itu.
Pram nampaknya begitu memomokkan kolonialisme dalam
tulisannya di novel ini. Pandangan-pandangannya menusuk tajam dalam bentuk
karakter seorang Minke. Aku suka bagaimana Minke harus bersikap dalam melawan kolonialisme
pemerintahan Hindia-Belanda.
Minke yang seorang pribumi, lagi penulis, juga
tidak suka hal-hal yang berbau feodal. Terutama kepada adat-istiadat Jawa yang
suka menyembah-nyembah tuan besar. Walaupun ia seorang anak bupati, ia tidak
suka dengan kelakuan ayahnya. Ia tidak ingin memerintah atau diperintah, ia
ingin menjadi manusia yang bebas.
Buku ini menjadi refleksi bagiku soal bagaimana
aku harus bersikap pada lingkunganku, menekanku untuk tidak seharusnya
mengkultuskan suatu entitas apa pun, dan menyadarkanku bahwa manusia itu setara
derajatnya.
Selanjutnya, aku cukup terpana dengan buku The Catcher in The Rye. Buku itu adalah buku pertama dan terakhir yang ditulis oleh J. D.
Salinger. Desas-desusnya, buku tersebut dinobatkan sebagai seratus buku terbaik
sepanjang masa. Bukan soal banyaknya jumlah kopian buku yang terjual di berbagai
belahan dunia. Tapi, kisah yang dihadirkan oleh Salinger begitu kelam.
Holden Caulfield, sang tokoh utama, sangat
membenci sekolah. Ia tidak lulus dalam semua mata pelajaran, kecuali Bahasa
Inggris. Ia hanya suka membaca dan menulis. Guru kesukaannya—guru sejarah, tak
bisa membantunya naik kelas. Untuk itu, ia memutuskan untuk kabur dari
sekolah—kehidupan yang membosankan. Menurutnya, pembangkangan adalah
pembebasan.
Holden akan memaki apa saja yang menurutnya
munafik atau hal itu sungguh barang ‘sialan’. Ia memaki sistem sekolah yang
mengacu pada nilai ketimbang minat siswa, kakaknya si penulis yang ‘melacur’ di
Hollywood, teman-teman tololnya di asrama, ia benci mereka semua.
Riwayat paling dikenang pada buku ini hadir
pada nama David Chapman. Bagaimana tidak, ia mengeluarkan buku ini dari sakunya
setelah menembak empat butir peluru ke tubuh John Lennon. Ia menganggap Holden
adalah dirinya. Alasan ia membunuh John Lennon ialah John orang yang munafik.
Ia menganggap karya-karyanya banyak bersimpati ke orangorang bawah, namun John
menjalani kehidupan mewah.
Bukan berarti aku akan melakukan hal gila
setelah baca buku ini. Tapi, aku jadi memiliki cara pandang yang lebih variatif
dalam melihat dan menilai dunia ini, tidak sekadar hanya urusan yang
hitam-putih. Aku pun menjadi lebih berhati-hati dalam mempercayai
segala-galanya.
Buku selanjutnya adalah A Monster Calls, karya
Patrick Ness berdasarkan ide final Siobhan Dawd. Naskah buku ini sebenarnya tak
selesai di tangan Dawd, karena ia keburu meninggal akibat kanker. Patrick Ness
adalah orang yang ditunjuk penerbit untuk melanjutkan dan merampungkan
naskahnya. Buku ini juga telah diadaptasi menjadi film yang tak kalah hebatnya
dengan judul yang sama dan disutradarai oleh J.A. Bayona.
“Sayangnya yang tidak ia miliki adalah waktu. Inilah
yang aku dan Siobhan hasilkan. Jadi pergilah. Bawa lari. Buatlah kekacauan,”
begitu kata Ness dalam kata pengantar bukunya.
Tokoh utama buku ini adalah Connor O’Malley,
seorang bocah yang sedang dalam proses meninggalkan masa kanak-kanak dan akan segera
memasuki masa remaja. Namun, masa transisi Connor tidak semudah kelihatannya. Ia
harus mengetahui kenyataan bahwa ibunya yang sakit, akan segera pergi
meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Buku ini menceritakan betapa sulitnya Connor menghadapi
masa pubertas. Ia harus mengurus dirinya sendiri dan seisi rumah sendirian.
Ibunya sakit-sakitan, sedangkan ayahnya telah lama meninggalkan mereka. Ia
hanya punya seorang nenek, tapi hubungan mereka sama sekali tidak akrab. Di
sekolah pun, ia tak memiliki teman, dan ia kerap kali mendapat perundungan.
Namun, yang membuat kisah ini mengagumkan adalah
pergulatan batin Connor dan fantasi-fantasinya. Ia tahu dan sadar bahwa ibunya
akan segera mati, yang membuat Connor tak tahan adalah proses itu begitu
lambat. Sehingga ia harus menderita detik tiap detik, menebak-nebak kapan hari
itu akan datang.
Kisah Connor dikemas dengan sangat apik oleh Patrick
Ness. Ness tahu bahwa Dawd tak akan memberinya kisah ini dengan biasa-biasa
saja, terutama soal penyakit yang selama ini dia derita. Ini bukan soal seorang
bocah yang menunggu kematian ibunya karena kanker, tapi ini soal seorang bocah
yang baru akan menghadapi dunia, sudah langsung dihantam dengan kejam. Ini soal
kesehatan mental, dan ini penting. Buku ini seolah mengingatkanku bahwa hal-hal
kecil tak selamanya kecil. Perkara kecil pun pantas mendapat atensi yang
komprehensif dan ekstensif.
A Monster Calls akan membuat siapa saja takjub
dengan narasinya yang luar biasa hidup. Mencengangkan, sekaligus mendebarkan.
Buku ini cocok sekali bagi siapa saja yang ingin belajar menulis.
Untuk sekarang, itulah buku-buku yang kuanggap
unggul di antara koleksi buku-buku fiksiku di lemari. Mungkin tiap orang
memiliki pengalaman yang berbeda dalam menafsirkan apa yang kusebut dengan ‘buku
hebat’ itu. Aku tak pernah punya niat untuk mengatakan bahwa referensiku lah
yang paling oke. Tidak. Tidak begitu.
Artikel ini kutulis hanya untuk berbagi
rekomendasi literatur-literatur fiksi yang pernah kubaca. Mudah-mudahan menjadi
bahan pertimbangan kalian jikalau ingin membeli buku dalam waktu dekat ini. Sekian…