Oleh: Ardian Pratama
Dunia mafia adalah wilayah gelap, dan dunia kartel adalah wilayah kelabu. Jika keduanya menyatu, dunia pun terlelap.
***
Sewaktu duduk nyantui di halaman kos-kosan sembari ngudud, tiba-tiba seorang emak-emak datang berjalan ke arahku. Ia membakul sebuah talenan penuh dengan gorengan. Kulihat ada bakwan, perkedel, ubi dan macam-macam lainnya.
"Beli goreng Dek?" jajanya.
Ibuk ini telat, aku baru saja makan siang dan sudah kenyang. Kubilang saja demikian. Ia tidak kecewa, namun ikut duduk nimbrung di sebelahku. Kasihan juga pikirku.
"Gila ya, harga minyak udah mahal sekarang," ketusnya.
Aku jadi mengiba. Tapi ini pasti strategi marketing S3 Harvard, curigaku. Soalnya ia agak memaksaku untuk membeli. Kubilang saja maaf, gak dulu.
Lantas aku dengar saja ia mengoceh sana-sini soal naiknya harga minyak goreng. Juga, sulitnya mendapati minyak goreng curah yang lebih murah dari pada yang kemasan.
Tapi, kalau dipikir-pikir benar juga perkataan Ibuk ini. Belakangan sangat sulit mendapati minyak goreng kemasan maupun curah setelah Menteri Perdagangan menerapkan harga ecer tertinggi Rp 14 ribu.
Ya, produsen gak bakal mau ngeluarin barang lah dari gudang kalau harga di pasaran murah, sedangkan harga minyak dunia sedang naik-naiknya. Mending jual keluar atau nunggu harga naik lagi. Namanya juga bisnis, orientasinya ya sudah pasti keuntungan.
Tapi, pemerintah sempat bikin aturan pembatasan ekspor dan naikin pajak ekspor bagi produsen minyak mentah (CPO), agar kebutuhan dalam negeri tercukupi. Dan bagi penimbun minyak goreng bakal dicap sebagai 'mafia'.
Don Corleone pasti malu melihat ini. Ia sebagai pengusaha minyak zaitun, dan juga 'mafia' beneran, bakal tertawa mendengar bahwa mafia Indonesia hanya dianggap tikus-tikus penimbun minyak oleh negara.
Walau bagaimana pun, pada akhirnya, pemerintah kalah sama elit korporasi yang mereka sebut 'mafia' itu. Minyak tak kunjung masuk dan memenuhi kebutuhan pasar. Aturan standar harga tertinggi minyak goreng pun langsung dicabut.
Setelah itu—sudah pasti, minyak goreng masuk terjun bebas di pasar dan ritel-ritel dengan harga menggila, mengikuti harga pasar dunia. Korporasi gembira, masyarakat sengsara, dan pemerintah hehehe.. AFK!
Jadi wajar saja kupikir Ibuk ini memaksaku beli gorengannya. Setidaknya ia pengen untung juga, setidak-tidaknya balik modal. Pemerintah memang gak bisa diandalkan.
BACA JUGA: Ini yang Kami Lakukan Ketika Mendapat Uang Kaget Ratusan Juta
"Iya, udah Rp 48 ribu dua liter," katanya.
Kalau dihitung-hitung naiknya sampai 2 kali lipat lebih. Memang luar biasa. Apalagi sekarang sudah menjelang bulan puasa dan lebaran, pasti naik lagi tuh harganya. Ibuk itu gak bakal bisa lagi nge-deep fry goreng-gorengannya.
Aku jadi teringat ucapan Mbak Mega soal betapa bingung ia dengan emak-emak seantero Indonesia panik tak ada minyak goreng murah. Ia bilang hidangan nusantara tak cuman digoreng, bisa direbus, dikukus dan 'dirujak'. Rujak guys. Ia benar-benar bilang 'rujak'.
Maaf kata, Anda menggoreng isu ini saja pakai objek minyak goreng. Kalau mau satire udah cukup kerjaannya Majelis Lucu Indonesia, Anda gak usah ikut-ikutan. Apa mau jadi golongan dzulumat atau pemuda tersesatnya Coki The Son of Horus?
Juga, entah apa jadinya jika Ibuk penjual gorengan ini menuruti perkataan Mbak Mega tersebut. Mungkin ia akan jualan bakwan rebus, perkedel kukus, atau rujak ubi campur godok bakar.
Jika begitu, aku bakal buka sesi konseling saat itu juga, dan menyarankan si Ibuk untuk sering-sering mendengar musik metal. Apa hubungannya? Ya gak ada. Kayak omongan Mbak Mega sama naiknya harga minyak goreng ini. Gak ada korelasinya.
Dia aja ngomong gak pakai pikir-pikir panjang, masak aku yang bukan profesor honoris causa ini harus lebih dialektis. Hehehe...
Atau aku akan menyarankan Ibuk ini untuk menjumpai Don Corleone, tuk meminta bantuan soal sulitnya ia memperoleh minyak goreng murah di pasaran. Juga, aku bakal titip pesan kepada Don, tolong senggol Mbak Mega dong.
Bayangkan sang Don akan mengirim Tom Hagen—si Consigliere (penasehat keluarga), untuk menugaskan Luca Brasi (assassin keluarga Corleone) menemui Mbak Mega, menawarkan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar.
Bagi 'mafia' penimbun minyak, para Caporegime-nya Corleone, seperti Peter Clemenza atau Salvatore Tessio, akan meluluh lantakkan gudang-gudang minyak goreng mereka. Tikus-tikus mana yang tak kicep dengan aksi-aksi Mafia Sisilia dengan karabin Tommy Gun atau Thompson, yang asapnya lebih dominan di cerutu daripada di ujung senapan.
Logis saja, Don Corleone senang membantu orang. Ia Mafia dermawan yang hidup dengan moral yang ketat dan cinta keluarga. Karir mafianya dibangun atas pertolongan kepada orang-orang tak punya kuasa, makanya ia disebut sebagai The Godfather.
Aku gak bakal terkejut jika di headline berita media-media nasional mengabari bahwa Mbak Mega menemukan kepala banteng di kamar tidurnya sewaktu bangun pagi, seperti Jack Wolts yang histeris mendapati kepala kudanya dipenggal. Cuman Mafia Sisilia yang bisa lakukan itu.
Atau stok minyak goreng langsung tersedia penuh di pasar dengan harga murah setelah beberapa gudang penimbun minyak goreng diserang 'mafioso tak dikenal'.
Ibuk penjual gorengan ini pasti bahagia, ia tak lagi membuat bakwan rebus atau perkedel kukus atau ngerujak ubi lagi, sudah pasti karena melihat klarifikasi mendadak Mbak Mega yang menyadari perkataannya sesat, dan mempertegas bahwa tradisi menggoreng adalah budaya postmodern nusantara. Hahaha.
Akhirnya Ibuk ini bisa kembali menggoreng—membuat gorengan betulan, yang tidak utopis seperti tulisanku ini. Tapi, aku bakal tetap saja tak membeli gorengannya, karena aku sudah makan.
Ibuk itu pada akhirnya pergi dan mengucapkan terima kasih, entah karena apa—bagian ini betulan. Aku pun beranjak dari situ, mau berak dulu.