Ilustrasi/Ardian Pratama |
Oleh: Yosa Satrama
Deg-degan bukan main saat kali pertama kamu akan menuju Jakarta, sambil berkata dalam hati, "Akhirnya lihat Monas juga!
***
Suasana hati seperti itu pasti bakal dirasakan ketika
seseorang dari Sumatera melawat ke Ibu kota. Ditambah lagi pengalaman pertama
naik pesawat. Duduk dekat jendela, keluarkan ponsel kemudian memotret sayap
pesawat.
Selain itu, hal norak lainnya yang biasa dilakukan yakni,
membagikan foto kertas boarding pass
kamu di sosial media. Ditambah caption
kecil “Bismillah” sambil menunggu di
ruang keberangkatan. Biasanya pakai kemeja, kacamata hitam, koper roda, earphone dan gaya agak cool. Cieee..hehe.
Orang yang sering pulang pergi ke Jakarta (urusan bisnis
maupun liburan rutin) tentu punya first
impression yang beda.
Norak sesungguhnya adalah ketika sudah on the location. Yap! JE-KAR-DAH alias Jakarta. Panggilan Aku akan berubah jadi Gue. Eeiits tapi biasanya pengganti
panggilan Aku, Saya atau Aden (Bahasa Minang yang sudah mendunia.
Hehe) itu langsung berubah. Ini terjadi dengan spontanitas saat kamu sudah
bertemu dengan lawan bicara yang beneran
orang Jakarta atau anak kampung sini (akamsi).
Ceritanya bermula dari sini, kamu landing, turun danberjalan mencari pintu keluar bandara. Sambil
berjalan itu, kamu mendengar sepintas kalimat dari orang-orang yang lalu
lalang. Kupingmu mendadak aneh dan hatimu berkata “woah…keren.”
Selanjutnya, kamu akan masih berpapasan dengan orang yang
bercakap-cakap dengan bahasa “lo—gue”dan bahasa gaul Jakarta. Hingga pada
akhirnya, kamu dijemput dan bertemu temanmu yang notabene-nya akamsi. Di situlah kamu mulai ‘terkontaminasi bahasa’.
Pertama, kamu akan merasa ndak
keren lagi saat menggunakan Aku. Saat
itu juga kamu nekad mengucapkan kata ‘Gue’. Ini terjadi karena kamu sebagai
makhluk sosial harus bisa berbaur dan menyamakan obrolan—agar bisa merasa akrab
dalam kesamaan komunikasi.
Tapi akan menjadi lucu ketika orang Sumatera yang sudah punya
logat khas mengucap kata-kata gawl
itu. Bedaaaalah pokoknya!
Sebab you know lah,
bagi anak Riau khususnya besar di kota Pekanbaru, sangat sulit mendapatakan
bahasa asli (Melayu). Penyebbnya, sebagian besar anak-anak yang besar di Kota
Pekanbaru bahasa kesaharian adalah campuran Minang dengan Indonesia yang
berlogat. Dengar aja Minang Kocak, kira-kira seperti itu.
Balik lagi ke "Gue", sadar atau tidak bagi kamu
yang mengubah Aku menjadi Gue dengan menggunakan logat. Kadang
bisa saja terlepas logatnya, misal, "Ya Gue baru tiba tadi," nah kan
aneh.
Antahlah, antara mau se-perbahasaan atau
ingin berbaur kadang bisa blunder
jadinya. Apalagi tidak fasih dalam bahasa ‘Gaul Jakarta’. Ditambah lagi, bahasa
gaul Jakarta terbagi menjadi, Jaksel, Jakut, atau Bekasi. Buseeeet…banyak juga
kan.
Namun beruntung kalau lidah kamu ndak medok, atau belogat.
Sebenarnya sih,
Kita (Saya juga) tidak perlu memaksakan diri untuk pakai bahasa gaul Jakarta.
Ya syukur-syukur kalau kamu dapat aksennya, masih enak didengar dan nyambung, kalau aksen nya masih
"Lama sekali Lu, ketiduran Gue jadinya."
Namun itu style dan
pilihan kamu aja sebenarnya. Dalam
tulisan ini saya hanya mau riview. Tapi
sebenarnya teman-teman Jakarta lebih senang kalau kita tidak memaksa perubahan
gaya bahasa. Secara tidak sadar jika berada satusampai dua minggu di sana
kadang bisa terbawa dengan sendirinya.
Tapi kembali lagi ke kamunya sih, itu tidak masalah dan sangat kondisional.
Ngomong-ngomong soal anak Riau ke Jakarta, ada beberapa
ulasanya yang mau saya bahas. Salah kaprah antara Riau dengan Kepuluan Riau
(Kepri). Bagi sebagian orang Jakarta masih ada yang beranggapan bahwa Riau itu
Kepri atau Kepri itu Riau. Coba aja tes tanya 10 orang asli Jakarta di sana,
pasti 3 antara 10 itu bilang Kepri itu Riau.
Bisa saja pengetahuan
mereka belum tahu bahwa Kepri memisahkan diri dari Riau dari tahun 2002, di mana
Kepri menjadi provinsi sendri dari pemekaran Provinsi Riau sendiri.
lalu soal bahasa, kenapa saya katakan diawal bahasa anak-anak
Pekanbaru itu menggunakan Indonesia-Minang, sebab kebanyakan penduduk Kota
Pekanbaru (Ibu Kota Provinsi Riau) adalah perantau dan bahasa mereka bercampur
dengan Minang. Ini karena orang Minang banyak merantau ke Pekanbaru,
mendominasi dan menguasai pasar.
Namun bahasa Melayu sendiri bukan tidak ada di Riau, hanya
saja tidak menjadi bahasa sehari-hari di perkotaan. Lebih banyak di daerah
saja.
Balik lagi ke Jakarta, semoga tulisan ini mencerahkan bagi
kamu yang tiba-tiba Lu-Gue yang baru
1 sampai 3 hari disana. Ingat kata peribahasa, “Riau atas minyak bawah minyak,
muka pun berminyak”. Dah, tu je.
Wassalam.
'Aku' Mendadak 'Gue'
Reviewed by Asique
on
7/02/2019
Rating: