Ilustrasi/Ardian Pratama |
Oleh: Ardian Pratama
Aku sebagai anak muda bertanya-tanya, benarkah Sumpah Pemuda masih relevan hingga saat ini? atau haruskah kita merayakan euforia-nya di setiap tahun?
***
Pada era 1920-an, tampaknya pemuda-pemuda saat itu harus memutuskan sesuatu. Sesuatu yang barangkali harus mempunyai cita rasa nasionalisme. Karena kemuakan dan penderitaan bangsa yang dijajah oleh imperialisme barat, maka persatuan untuk melawan adalah jalan keluarnya.
Untuk itu para pemuda masa lalu itu, butuh semacam identitas. Mereka menegaskan cita-cita akan ada “tanah air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia”, yang walaupun semua mimpi itu terpenuhi belasan tahun setelahnya. Kemudian diciptakanlah bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya yang merupakan representasi dari semangat pendirian sebuah bangsa tersebut.
Di bawah pemerintahan kolonialisme, tentunya tak mudah untuk mengibarkan dan menggaungkan simbol-simbol tersebut. Setelah dikumandangkan tahun 1928 dihadapan para peserta Kongres Pemuda II dengan biola, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya. Dan bahkan Sang Dwiwarna tak bisa berkibar dengan bebas hingga 1945.
Jadi, kembali ke pertanyan pertama, Aku memilih untuk menjawab tidak. Pemuda masa kini tak lagi berorientasi untuk memperjuangkan hal-hal krusial seperti zaman penjajahan, hal-hal berubah dengan cepat, kehidupan pemuda sangat dinamis. Apalagi kini para pemuda cukup selow kalau dengar kata imperialisme—bahkan nggak ngerti sama sekali.
Menurut sejarawan Ivan Aulia Ahsan (2011), persoalan yang terus-menerus melanda pemuda Indonesia hingga detik ini ialah bagaimana mereka menempatkan diri dalam dunia yang didominasi oleh kelompok orang tua. Kondisi ini selalu memunculkan dikotomi dalam terminologi sejarah dan politik Indonesia, lewat istilah “golongan tua” dan “golongan muda”.
Kesenjangan generasi berlangsung di antara mereka, yakni tatkala kaum tua tak mampu lagi mengakomodasi keinginan dan aspirasi kaum muda. Kaum tua sangat berhasrat memaksakan keinginannya kepada kaum muda, sesuai dengan idealisasi mereka sendiri, sehingga yang muncul adalah kooptasi kaum tua terhadap kaum muda.
Memang tak ada salahnya merayakan sejarah perjuangan tersebut, bahkan sebagian orang bependapat perlu. Tapi, bukan berarti anak muda masa kini tidak memiliki antusiasme terhadap zamannya. Masa dahulu tentu berbeda dengan masa sekarang, orang-orang tidak lagi mengoleksi perangko, berbalas surat kepada sahabat pena, atau mendengar musik-musik Rock n’ Roll sambil berdansa.
Karenanya, keacuhan terhadap sejarah yang lama-lama itu, tak bisa disalahkan sepenuhnya kepada generasi kita. Lantaran tiap zaman punya jiwa dan pemikiran dominan yang mempengaruhi budaya dan tingkah laku pada masa itu sendiri. Jadi, wajar-wajar saja kita tidak memiliki semangat juang ‘45’ itu. Namun, tidak serta-merta bentuk-bentuk imperialisme hilang begitu saja dan kita hanya berdiam diri.
Bentuk penjajahan hari ini telah berevolusi ke dalam konstruksi yang lebih masif dan terstruktur. Negara-negara tidak lagi berperang untuk memperluas wilayah, akan tetapi memperkuat kekuatan ekonomi dan menginvasi pasar global—musik, teknologi, film, industri dan macam lainnya.
Akibatnya, introduksi terhadap komoditas industri yang masuk bertubi-tubi ke suatu wilayah, membuat budaya dalam kawasan itu mengalami perubahan. Contoh saja, kebiasan menyirih oleh kakek-nenek kita tergantikan oleh sikat gigi, lentera minyak dengan lampu listrik, gaya busana, hingga jenis makanan cepat saji menjamur di kota-kota.
Kemudian kita tidak berbahasa Indonesia dengan sebagaimana mestinya seperti yang kita pelajari dalam buku teks sekolah. Bahasa sehari-hari kita kuat dipengaruhi oleh bahasa asing, hal-hal yang menjadi trending topic, kebiasaan dan tingkah laku.
Wardhaugh dalam Sibarani (1992:109), menyatakan pikiran seseorang membentuk bahasa menjadi lebih berisi, bermakna dan bermanfaat. Jikalau terjadi kerusakan dalam pikiran seseorang, maka akan mempengaruhi bahasanya. Mungkin bahasa orang yang mengalami kerusakan pikiran ini masih dapat dimengerti, tetapi makna, manfaat dan tujuannya tidak dapat dipahami—alias bertele-tele. Padahal bahasa sebagai sistem komunikasi harus dapat dipahami makna dan tujuannya terutama bagi penyapa dan pesapa.
Adalagi pendapat bahwa bahasa mempengaruhi budaya seseorang dipopulerkan oleh dua pakar linguistik bernama Edward Sapir dan Benjamin Whorf. Sehingga teori mereka terkenal dengan sebutan "Teori Sapir-Whorf". Teori ini menyebutkan bahwa bahasa mempengaruhi jalan pikiran manusia yang menuturkan bahasa tersebut. Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi budaya. Mereka menyatakan demikian karena menurutnya, apa yang diungkapkan oleh pengguna bahasa mencerminkan kebiasaan si penutur.
Artinya, kerelevanan bahasa Indonesia tidak lagi utuh. Apa yang disebut dengan bahasa Indonesia telah mengalami metamorfosis dan berubah ke dalam bentuk yang tidak kita pahami. Begitu juga dengan identitas bangsa Indonesia. Membludaknya budaya populer di tengah masyarakat bukti bahwa kita tengah menghadapi interferensi budaya dan bahasa Indonesia.
Golongan muda—kita lebih tepatnya, memang tidak sedang berdiam diri melihat situasi ini. Mungkin ada diantara kita yang berkeyakinan ekstrim untuk terus menjaga identitas murni bangsa Indonesia, atau terlibat langsung dalam gerakan-gerakan pelestarian budaya dan bahasa. Namun, tampaknya kehadiran pemuda-pemudi nan gembira yang menyambut peralihan zaman—tentu mengutuk nilai-nilai tradisional dan konvensional—kayaknya lebih relevan, dan barangkali seru.
Apa itu Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia dan Bahasa Indonesia?
Sumpah Pemuda Adalah Sejarah Pemuda Jaman ‘Old’, Bukan Jaman 'Now'
Reviewed by Asique
on
10/28/2019
Rating: