Oleh: Janaek Simarmata
Sebatang rokok di antara telunjuk dan jari tengah. Lalu kami menjadi koboy yang santuy. Menatap sawah, mengepulkan asap dan ngobrol seperti jagoan. Belum habis sebatang, baru beberapa hisapan. Rasanya pening, keringat dingin lalu pengen muntah
***
Kampung tempatku tinggal dikelilingi banyak ladang sawah. Lokasi yang cukup sepi dan cocok untuk merasakan sensasi merokok pertama kali. Aku dan teman-teman membeli rokok di warung. Merasakan asap masuk ke mulut tanpa berani menghisapnya lebih dalam. Kala itu, perbincangan dan gurauan menjadi lebih nikmat dengan ikut merokok.
Tapi rasanya pengalaman merokok pertamaku memang kurang berkesan. Kala itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), pada masa awal pubertas. Selain mengalami mimpi basah, aku ingin sekali mencoba hal-hal baru yang belum pernah kulakukan. Pengen “break the rule”gitu lah ceritanya.
Semakin bertambah usia, aku memberanikan diri lagi untuk mencoba rokok. Seorang temanku namanya Kipli, ia begitu berani mengambil rokok dan korek milik ayahnya di rumah. Kami pun berkumpul untuk bermain bersama. Aku gemetar diajak Kipli ke suatu ladang yang sepi. Kipli menyalakan sebatang rokok Gudang Garam di gubuk ladang yang cukup jauh dari rumah kami. Aku melirik ke sana kemari takut ada yang memergoki.
Pada hisapan pertama, yang didapat adalah sensasi tidak nyaman. Batuk-batuk, sensasi panas di tenggorokan dan sesak di dada. Pahit di mulutku sangat mengganggu, tidak tau apakah caraku menghisap rokoknya salah atau rasanya memang seperti itu. Lalu, kenapa orang menikmati rokok jika rasanya pahit di mulut? Aku membatin.
Sebagai anak pendiam dan tidak suka keramaian, aku tidak berbaur dengan perokok bar-bar yang masih berseragam putih biru itu. Cabut hanya karena ingin mengonsumsi asap, aku memang ingin mencoba hal-hal baru, tetapi aku membatasi apa yang harus kucoba. Cabut sekolah memang pernah kulakukan tapi tidak untuk merokok.
Aku mendengar banyak dogma orang-orang yang merokok. Ada yang bilang merokok demi mendapatkan inspirasi saat bekerja, sarana pergaulan, atau cuma sekedar coba-coba. Tapi banyak juga yang mengatakan, jika sekali merokok akan bikin kecanduan.
Seperti dilansir idntimes.com, para peneliti dari Queen Mary University, London, menganalisis hasil 8 survei mengenai kebiasaan merokok di negara-negara berbahasa Inggris dan menemukan bahwa satu batang rokok cukup untuk memicu kebiasaan merokok setiap hari. Survei gabungan ini dikumpulkan 3 dari AS, 3 dari Inggris, 1 dari Australia dan 1 dari Selandia Baru.
Tingkat konversi (dari satu percobaan merokok sampai menjadi kebiasaan merokok) cukup bervariasi tergantung pada survei, yang terendah adalah 50% (survei AS) dan yang tertinggi adalah 82% (survei di Inggris). Meskipun bervariasi, setidaknya menunjukkan bahwa lebih dari 50% orang menjadi "kecanduan" setelah percobaan rokok pertamanya. Hasilnya dipublikasikan di jurnal Nicotine and Research akhir tahun 2017.
Rasa-rasanya, rokok memang menjadi gimmick marketing yang sukses. Sebagaimana diperlihatkan kalau kita merokok akan terlihat keren.
Sejak perngalaman merokok masa SMP yang tidak berkesan itu, aku kembali merokok lagi di tahun 2019. Ini seperti menjadi pengalaman baru yang membuatku merasa menjadi seperti social smoker.
Waktu itu aku sedang duduk bersama teman-teman yang semuanya perokok. Mereka ngobrol begitu asik dan terbuka dibarengi asap yang keluar dari mulut. Aku memang duduk sedikit berjarak dari mereka karena mungkin saat itu terganggu dengan asap. Tapi lama-kelamaan sepertinya mereka tidak menghiraukanku.
Aku mencoba mendekat dan mengambil sebatang rokok milik temanku lalu menyalakan ujungnya dengan korek gas. Pada hisapan pertama aku merasakan asap masuk ke paru-paruku. Sedikit batuk kecil namun bisa kutahan. “Weh ngerokok kau Jan?, gitu kan enak kita ngobrol. Sinilah kau duduk.” Sesama temanku bersautan menunggu jawabanku.
Seketika aku merasa rokok sebagai penyelamat. Yaa, penyelamat dalam pergaulanku. Obrolan menjadi semakin asik dengan teman-teman. Enam batang rokok sudah kuhisap dalam sekali nongkrong saja, kepalaku terasa goyang dan sedikit sakit, namun itu kulakukan demi kenyamanan.
Aku merasa menjadi manusia di lingkungan manusia. Bayangkan saja, ketika di keramaian yang mengharuskan kita untuk berkomunikasi malah menjadi canggung hanya karena sibuk sendiri dengan gawai. Aku merasa rokok adalah penyelamat, perokok akan mencari temannya di keramaian. Dari hanya sekedar meminjam korek atau bertukar meminta sebatang rokok, cerita-cerita akan dimulai. Beradu argumen dan bertukar pikiran sampai tidak sadar sudah berkotak-kotak rokok dihabiskan.
Disamping itu semua, aku merasa masih normal dengan menghargai orang-orang yang tidak merokok. Aku tidak akan merokok saat nongkrong bersama dengan mereka yang tidak merokok. Terkadang aku berpikir secandu apa sih perokok aktif yang tidak memikirkan lingkungan sekitarnya? Mereka merokok sesukanya dan bahkan membuang puntung rokok sembarangan.
Aku perokok tapi aku menempatkan situasiku merokok dengan tepat. Sebagai perokok sebaiknya kita mengetahui dan mematuhi setiap peraturannya. Walaupun peraturan itu tidak tertulis, tetapi sebagai orang yang memiliki pemikiran baik setidaknya tau setiap orang punya hak dan jangan sesekali mengganggu hak orang lain.
Hal yang paling membuatku geram dari perokok bar-bar adalah merokok ketika sedang mengendarai kendaraan. Abunya berterbangan ntah keman-mana. Aku pernah terkena abu perokok yang sedang berkendara, itu sakit woi, lebih pedih dari kena debu. Kita juga harus sadar resiko terbesar dari merokok di tempat umum.
Pengalaman Pertama Merokok Membuatku Jadi Social Smoker
Reviewed by Asique
on
11/05/2019
Rating: