sumber gambar: Pexels/Umberto Shaw |
Oleh: Ardian Pratama
Seperti kalian, dulu aku juga tidak mengerti mengapa kita harus pergi ke sekolah enam kali dalam seminggu, atau mengapa kita harus mempelajari matematika, fisika, kimia dan mata pelajaran lainnya.
***
Aku dulu senang bermain musik. Sewaktu duduk di bangku SMP, aku tergabung di kelompok Paduan Suara dan Orkes Klasik milik sekolah. Kami nampil beberapa kali di ajang pentas seni, dan pentas tunggal.
Kelompok musik ini dipimpin oleh seorang guru yang "gila" musik. Saat mengajar, guru ini tak pernah sekalipun menghadirkan suasana yang bosan di kelas, kami menonton film, adu cerdas cermat, latihan instrumen musik, latihan vokal dan olah emosi. Kami tidak banyak diberitahu soal teori musik, tapi kami diajak untuk bermain musik dan merasakan empatinya.
Hal yang paling seru adalah ketika ia meminta kami untuk membuat musik gubahan kami sendiri dengan menggunakan lembar partitur dan birama. Kemudian, memainkannya dengan alat musik apa pun yang kami suka.
Karena itu, suatu saat aku ingin menjadi seorang komponis. Namun, cita-cita itu harus terkubur ketika aku lanjut ke jenjang pendidikan berikutnya. Tak ada lagi yang mengajari aku soal semangat bermusik.
***
Pasca peristiwa Revolusi Industri, segala lini kehidupan manusia beserta dinamikanya berubah total. Mulai dari pertanian, manufaktur, transportasi, komunikasi hingga model pendidikan. Mesin-mesin menggantikan tenaga manusia di berbagai bidang industri. Sehingga, korporasi berkembang pesat menjadi lebih liar dan ultra modern.
Namun, mesin-mesin yang bekerja secara praktis tersebut tidak bekerja secara dinamis. Industri masih membutuhkan manusia untuk mengontrol dan membenahi alat produksi. Untuk itu, industri hanya mempekerjakan orang-orang dengan kemampuan tertentu.
Industri kemudian merekrut orang-orang yang memiliki sertifikasi pada suatu bidang keilmuan. Dari mana sertifikasi itu berasal? Tentu saja dari institusi pendidikan. Makanya terciptalah model pendidikan yang memiliki ketersambungan dengan dunia industri.
Karena itu, tak heran bahwa sekolah menjadi tempat penyedia calon-calon tenaga kerja bagi industri. Sejak kecil, kita hanya dibekali oleh pengetahuan-pengetahuan yang terspesifikasi. Bukannya pengetahuan yang tergeneralisasi.
Memang Revolusi Industri memiliki dampak positif bagi dunia pendidikan, yaitu inklusifitas ilmu pengetahuan, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Tapi, lama-kelamaan pendidikan tak lagi fokus bertujuan untuk mencerahkan peradaban, namun untuk memenuhi kebutuhan pasar—pekerja industri.
Kita jarang sekali diajak menjelajah pada pengetahuan yang lain, atau sesuatu yang tidak dibutuhkan industri. Kita selalu disodori oleh sekolah untuk menjadi pekerja dan pelayan, bukan pencipta.
Cita-cita kita dikerangka oleh profesi di bangku industri dan pelayan negara. Makanya jarang sekali dari kita yang ingin menjadi pelukis, komponis, penulis, jurnalis atau profesi lain yang diyakinkan tidak menghasilkan kekayaan.
Sekolah meyakinkan kita bahwa ijazah dapat mendatangkan kemakmuran ketimbang ilmu pengetahuan. Kita lupa, kita seharusnya belajar untuk hal-hal yang lebih besar daripada kepentingan industri belaka. Ijazah membuat kita menyia-nyiakan waktu yang kita korbankan di bangku sekolah.
Institusi pendidikan seharusnya yang membentuk dan membangun industri, bukan sebaliknya. Malah sekarang institusi pendidikan diperbudak oleh industri itu sendiri. Apalagi kini, akses pendidikan dikomersialisasi oleh institusi pendidikan, yang tadinya pendidikan itu inklusif menjadi ekslusif. Ironi memang, tapi itulah keadaan dunia pendidikan kita.
Belum lagi orang-orang crazy rich yang punya akses tak terbatas untuk menggunakan fasilitas pendidikan. Sebut saja kelas bilingual dan akselerasi atau non-reguler lainnya, siswa di kelas ini mendapat perhatian lebih dari guru-guru di sekolah. Bahkan mudahnya jangkauan mereka untuk masuk ke perguruan tinggi.
Sekolah bukan lagi menjadi lembaga yang mengajarkan kesetaraan hak, kewajiban dan keadilan. Tapi, melanjutkan upaya-upaya diskriminasi kelas sosial. Kita bukanlah sekedar siswa yang sedang belajar, kita adalah korban sistem kapitalisasi pendidikan.
Kemudian, rentetan dari pengkultusan terhadap industri tersebut, juga membuat pendidikan kita terjerumus pada kultur linearitas, atau pengetahuan yang terspesifikasi dan tersekat-sekat. Semakin ahli seseorang dalam bidang keilmuan, semakin bagus ia. Tapi, apakah benar seharusnya kita mengakui model pendidikan seperti itu?
Pada masa Renaisans, banyak orang ahli pada macam-macam bidang ilmu pengetahuan. Orang-orang ini mempelajari segala bidang kehidupan dan memprosesnya melalui berbagai bentuk ekspresi. Contoh; Leonardo da Vinci, seorang matematikawan, arsitek sekaligus seniman. Isaac Newton, seorang fisikawan juga filsuf tersohor. Galileo Galilei, seorang fisikawan, filsuf dan astronom. Nicolaus Copernicus, seorang astronom cum ekonom. Dan banyak tokoh lainnya
Mereka adalah manusia yang memiliki kebijaksanaan untuk mengeksplorasi lintas disiplin ilmu pengetahuan. Tidak ada yang ahli hanya pada satu bidang. Orang-orang ini mempelajari dari apa yang mereka ingin ketahui dan bagaimana menemukan jalan ke apa yang harus mereka ketahui itu.
Pada masa itu, industri tidak memiliki pengaruh besar terhadap model pendidikan mereka. Mereka tidak butuh sertifikasi untuk dipekerjakan oleh industri. Merekalah yang membuat industri itu ada, mereka adalah pencipta.
Itu mengapa mempelajari segala hal adalah suatu keharusan yang berkesinambungan. Jangan hanya terpaku pada satu topik ilmu tertentu. Linearitas pengetahuan hanya akan mempersempit pandangan kita terhadap dunia. Pelajari matematika, pelajari bahasa asing, pelajari merangkai musik, pelajari merakit teknologi dan menggunakan kuas lukis.
Seorang ahli adalah orang yang bijak dalam segala aspek kehidupan, mengerti segala pokok dasar dan konklusi dari suatu problema. Mulailah lagi untuk bercita-cita, yang lebih besar, lebih tinggi, dari sekedar menjadi pegawai atau tenaga kerja.