Perempuan Pemarah yang Menolak Cukur Bulu Ketiak dan Benci Laki-Laki itu Bukan Paham Feminisme Anjir!

Feminisme Bukan tentang Sekumpulan Perempuan Pemarah yang Menolak Mencukur Bulu Ketiak
Sumber gambar: Pexels.com


Oleh: Rinai Bening Kasih


“Feminis ya? Nggak cukuran dong~” Jancuk!

***

Sulit rasanya membicarakan feminisme tanpa menerima cemoohan dari orang-orang. Bahkan di inner circle-ku sendiri. Rasa-rasanya sesulit menghapus foto alay di Facebook yang sudah kita lupakan password dan e-mail-nya. Satu-satunya cara hanya menyurati Facebook minta akun itu dihapus, tapi Facebook akan bilang: "Apa buktinya akun itu milik Anda?” dan kita nggak bisa cuma jawab “well, itu muka gue, jadi...”

Stigma negatif yang paling banyak disasar kepada feminis adalah bahwa feminis itu membenci laki-laki, tidak mau menikah, tidak percaya pada agama, tidak mencukur bulu ketiak dan tidak suka pakai beha. Memang separah itulah stigma yang melekat pada feminis, hingga nyaris mustahil untuk mengajak orang lain membicarakannya tanpa membuat tensi mendadak naik.

Nyatanya, banyak feminis yang sangat vokal dan ‘garang’ justru memiliki pasangan serta tidak segan menunjukkan bahwa mereka juga bucin. Sebut saja Kalis Mardiasih, Andrea Gunawan, dan saya, hehe... Mbak Kalis berhijab, dan kalau dicari di Wikipedia, dia dideskripsikan sebagai aktivis muda Nahdlatul Ulama dan anggota Sekretariat Nasional Jaringan Nasional Gusdurian, kelompok fanatisme paham-paham Gusdur. Kurang beragama apalagi coba beliau itu?

Feminisme tidak pernah memerangi laki-laki. Feminisme bukan tentang sekumpulan perempuan pemarah yang menolak mencukur bulu ketiak. Hal-hal yang diperjuangkan feminis jauh lebih besar daripada sekedar ngurusin bulu ketiak.

Salah satu hal yang dibicarakan feminis memang tentang bagaimana perempuan harus mampu mencintai dan menerima kondisi dirinya sendiri apa adanya—termasuk tidak cukuran, tapi kalau mau cukuran juga nggak apa-apa. Mau merokok silahkan, tidak merokok juga oke. Mau pakai baju off-shoulder atau pakai cadar, silahkan. Mau pakai beha silahkan, kalau gerah dilepas juga nggak masalah. Silahkan lakukan apa yang membuat dirimu nyaman dan bahagia tanpa paksaan siapa pun. Itulah inti dari gerakan feminisme paling dasar: perempuan berhak memilih. 

Bahkan, feminisme kini tidak lagi terkhusus pada perempuan. Pada awal kelahiran gerakan ini memang tentang perempuan. Tapi sekarang sudah menjadi sebuah gerakan yang tidak mengenal gender. Perempuan, laki-laki, or if you feel more comfortable without being described as one, semua bisa jadi feminis.

“Kalau gitu kenapa harus disebut feminis? Kenapa nggak disebut humanis aja jika yang diperjuangkan memang kesetaraan umat manusia?”

Pertanyaan itu sering aku dengar dari orang-orang yang mengaku tidak memiliki masalah dengan perjuangan kesetaraan yang diusung feminis tapi mempermasalahkan sebutannya. Tidakkah mereka sadar bahwa keberatan dengan sebutan ‘feminis’ juga sebuah bukti yang sangat besar bahwa posisi perempuan se-tidak dihargai itu? Mereka membenci embel-embel berbau perempuan. Mereka tidak mau perempuan memiliki sebuah identitas. Mereka tidak mau perempuan tampil sebagai manusia yang memiliki keberanian dan kekuatan. 

“Tapi kalau namanya feminis, berarti tidak setara karena kata feminis merujuk pada feminine yang artinya perempuan.”

Feminine atau feminin di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna mengenai perempuan, bersifat perempuan, atau menyerupai perempuan. Jadi, laki-laki juga bisa memiliki sifat feminin di dalam dirinya. Feminis hanyalah sebutan yang tidak melemahkan misi yang diemban orang-orang yang meyakininya.

Memahami feminisme memang tidak bisa selesai hanya dalam sehari, terlebih lagi kalau sejak awal sudah ada stigma-stigma negatif yang bercokol di dalam kepala kita semua. 

Terkadang, stigma-stigma tersebut diperparah oleh perempuan-perempuan yang baru belajar mengenai feminisme dan sudah mendeklarasikan dirinya sebagai feminis, tapi kadung berapi-api dalam menyampaikannya. Kalau aku bilang, belum hafal huruf hijaiyah sudah mengajari orang mengaji, sehingga hasilnya bukan sekedar salah membaca, tapi juga salah melafazkan dan lebih salah lagi dalam menafsirkan. 

Kadang, ada juga yang menjadikan feminisme sebagai strategi pembenaran atau validasi atas perbuatan buruk mereka terhadap laki-laki.

Ada seorang kenalanku, dia marah besar waktu teman laki-lakinya mempertanyakan hubungan mereka yang sudah setahun dirasanya tidak jelas, dibilang teman tapi kok romantis, dibilang pacar kok tidak pernah ada prosesi penembakan. Kenalanku itu lalu curhat di blog pribadinya dengan menyisipkan kalimat “Kenapa dia bertanya padahal sejak awal aku tidak pernah bilang punya perasaan lebih? Dasar laki-laki. Itulah yang paling aku benci dari laki-laki, mereka semua memuakkan, suka seenaknya menafsirkan sesuatu.”

Lain lagi dengan kenalanku yang lain. Dia pernah memacari seorang laki-laki selama setahun. Lalu suatu hari dia terang-terangan berkata pada laki-laki itu bahwa dia hanya memanfaatkan si laki-laki untuk membayar uang kos dan membelikannya ini-itu, dia juga sebenarnya sudah menjalin hubungan selama tiga tahun dengan laki-laki lain. Si laki-laki marah dan melempar kunci motor, lalu kenalanku itu membuat Instastory tentangnya, menyebutnya sebagai laki-laki toxic dan pelaku kekerasan non-verbal.

Jujur aku sangat terganggu dengan postingan mereka berdua yang membawa-bawa feminisme. Bodo amat dengan urusan personal mereka. Tapi hal yang mereka lakukan memberi sumbangsih buruk terhadap citra feminis yang sudah buruk di mata masyarakat. 

Seperti yang aku bilang diatas tadi, hal-hal yang diperjuangkan feminis jauh lebih besar daripada sekedar ngurusin bulu ketiak atau tali beha. Feminis bicara tentang sebuah sistem busuk yang telah mengakar selama berabad-abad; sebuah sistem yang meletakkan perempuan sebagai makhluk kelas bawah, tidak memiliki hak untuk menerima pendidikan, kesempatan kerja yang tidak adil, gaji yang tidak setara, bahkan untuk berpikir dan merasa pun harus diwakilkan atau atas persetujuan laki-laki. Sistem itu bernama patriarki, dan itu adalah satu-satunya musuh yang diperangi oleh feminis. 

Feminis tidak pernah membenci laki-laki hanya karena dia laki-laki. Menjadi feminis berarti melihat setiap gender setara dan dibebaskan dalam mengambil pilihannya masing-masing, tanpa tuntutan, tanpa paksaan, tanpa intervensi apa pun dari siapa pun.

________________

Tentang Penulis:

Rinai Bening Kasih, perempuan, kalau senggang bekerja sebagai jurnalis.


Perempuan Pemarah yang Menolak Cukur Bulu Ketiak dan Benci Laki-Laki itu Bukan Paham Feminisme Anjir! Perempuan Pemarah yang Menolak Cukur Bulu Ketiak dan Benci Laki-Laki itu Bukan Paham Feminisme Anjir! Reviewed by Asique on 3/08/2021 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.