Cerita Dapur yang Mungkin Perlu Aku Tuliskan Kisahnya, Agar Kalian Tahu Betapa Enaknya Kerja di Dapur






Yang namanya dapur tak pernah lepas dari peran getol nenek-nenek. Selain buat dapur mengebul, juga kadang buat kita pusing mikir hidup ini macam betul. 


***

Ada cerita menarik sewaktu aku dulu tinggal di Jepang. Jadi, biasanya tiga sampai empat kali dalam seminggu aku kerja sampingan sebagai kitchen helper di sebuah hotel berbintang 4.

Uniknya, semua orang Jepang yang kerja sebagai kitchen helper di hotel tersebut adalah para Lansia. Selebihnya adalah para mahasiswa asing yang pengen punya uang saku lebih buat dihabiskan pada awal bulan.

Aku adalah satu-satunya anak muda yang merokok di sana. Teman-temanku yang lain tak merokok karena alasan kesehatan, klise banget. Jadi, aku sering curi-curi waktu buat merokok di tangga darurat atau di rooftop hotel.

Terkejut aku bukan main, suatu ketika aku memergok salah satu nenek yang bekerja di tempatku sedang asik duduk merokok sendirian di rooftop. Gila pikirku, perempuan serenta itu duduk santuy mengebul asap di lantai 15 sembari menatap riuhnya kota di bawah sana.

Aku dekati ia, dan basa-basi meminjam korek api. Ia pun kaget mengetahui aku juga seorang perokok. Gigi ompongnya tampak kala ia terbahak-bahak saat bilang, "Kupikir anak-anak muda sekarang sudah lemah-lemah. Ketemu juga satu orang agak bengal."

"Sial," pikirku.

Aku pun tertawa dengan kencang. Tambah lagi ketika ia memamerkan batang 'Marlboro'-nya yang sudah setengah lesap. Mata kedutnya meremehkan rokok 'Mevius' yang sedang kuhisap. Anjay betul nenek ini.

Di Jepang, Marlboro adalah rokok mahal. Rokok di kasta tertinggi, dalam rupiah seharga 70 ribuan per bungkus. Sedangkan Mevius berada di bawahnya, dan rasanya lebih ringan. Lantas ia memberiku sebatang, dan pergi setelah memadamkan puntungannya yang tinggal di ujung filter.

"Jangan kasih tahu siapa-siapa," katanya seraya mengangkat alis.

"Wakatta!" balasku.

Menikmati malam musim dingin di rooftop sebuah hotel di Jepang. 

Besok-besoknya, kami sudah kadung akrab nongkrong berduaan kalau merokok. Kadang ia membawa senbei (cracker beras) atau Pocky dan snack lain buat kudapan kami. Temanku yang orang Vietnam sesekali ikut nongkrong, cuma mau snack-nya doang.

Orang dapur sering kecolongan jika kami sudah tidak berada di tempat. Pasti lama baliknya. Nenek itu, Hashidate-san namanya, bakal berdalih betapa capek kami mengangkut barang dari sana kemari, untung ada aku yang sering membantunya katanya. Pandai betul ia membual.

Hashidate-san bekerja fulltime setiap hari, kecuali hari Minggu. Ia bilang sudah puluhan tahun bekerja di dapur itu bersama rekan-rekan Lansia lainnya. Ia tak mau pindah, sudah turut nyaman katanya. Lagian ia bilang tidak punya keahlian lain, gajinya juga lumayan.

Sewaktu kutanya berapa pendapatannya sebulan, lumayan bombastis juga gajinya, sekitar 30 jutaan rupiah. Wajar saja, di Jepang, gaji karyawan dan buruh dibayar per jam. Jika di luar jadwal atau kerja sewaktu cuti, bayaran per jamnya bakal ditambah. Ini yang mungkin membuat orang-orang Jepang senang bekerja overtime.

Aku saja yang cuma kerja part-time berpenghasilan lumayan. Bisalah buat jajan-jajan enak menuhin kulkas atau belanja banyak barang di secondhand shop. Itu pun masih ada kembaliannya.

Selain soal uang, Hashidate-san juga bilang ia gak bisa diam aja di rumah. Ia harus tetap produktif dan berguna walau umur tidak lagi muda. Tidak ingin menyusahkan anak katanya. Hidup harus mandiri kalau kaki masih bisa dan kuat berdiri. Bijak betul kata-katanya itu, tapi ia telah habiskan 3 batang udud duduk cerita di malam itu. Paru-parunya mungkin bakal bilang, "Sok paten!"

Memang, walau usianya telah masuk di dekade ke-6, ia masih tangguh dan ligat mengangkat-angkat barang dapur. Ia ingat betul di mana tiap-tiap benda harus diletak. Benda apa yang perlu perlakuan khusus serta bagaimana menyusun dan menyimpannya. Mahir betul ia soal ini.

Aku kadang herman, aku yang kerja sampingan saja letih bukan main jika waktu tutup dapur telah usai, dan masih dapat jatah libur esoknya. Sedangkan ia, kerja seharian dalam seminggu penuh. Benar-benar gila. Padahal pihak hotel tidak memaksa para Lansia bekerja terlalu sering. Merekanya aja yang bengal, malah tadi aku yang dibilang begitu. Dasar!

Selama bekerja, kami yang muda-muda malah sering banyak mengambil alih kerjaan di dapur. Kami juga takut ada kenapa-kenapa bila terjadi sesuatu kepada para nenek-nenek ini. Malah aku dan teman-teman kadang disembur, "Gakpapa! Aku bisa sendiri kok. Daijōbu-yo."

Berpose bersama para kitchen helper

Akhirnya, dua minggu sebelum kepulanganku ke Indonesia, aku dan dua orang pekerja part-time harus resign. Tampak sedih di wajah Hashidate-san ketika kukatakan hari itu hari terakhir kami bekerja, kepadanya. Kubilang pelajaranku telah usai di universitas, saatnya kembali pulang ke rumah. Aku pun rindu dengan keluarga dan teman-temanku di Indonesia.

Ia lantas mengajak kami, para pekerja semua, supaya nongkrong di 'rooftop', untuk terakhir kalinya. Tinggalkan saja dapur beserta keberantakannya, hari ini adalah hari terakhir bagi tiga orang pekerja. Kami duduk lama sekali di sana, ngobrol-ngobrol apa saja. Ia bilang dapur pasti bakalan sepi tanpa kami. Sedih juga memang.

Dalam hisapan sekalian hembusannya yang terakhir, ia ucapkan, "Semoga beruntung. Pasti bahagia setelah lama tak jumpa keluarga, " ia kemudian pergi, menyisakan sebatang rokok di dekatku.

Sewaktu pulang, di luar hotel, kami saling berpamitan dan melambai-lambai tangan ke semua. Hangatnya air mata tertahan oleh sejuknya udara di malam musim semi. Kami berloncat-loncat tertawa sembari berpencar,

~"Sayonara Minna!"

Cerita Dapur yang Mungkin Perlu Aku Tuliskan Kisahnya, Agar Kalian Tahu Betapa Enaknya Kerja di Dapur Cerita Dapur yang Mungkin Perlu Aku Tuliskan Kisahnya, Agar Kalian Tahu Betapa Enaknya Kerja di Dapur Reviewed by Ardian Pratama on 12/09/2021 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.