"Jiancok, filmya gak sesuai ekspektasi. Anjir, kok scene yang di buku ada yang hilang. Bangsat, habis uangku beli tiket bioskop karena film tak bagus itu."
Begitulah kira-kira isi perasaan para pembaca buku yang merasa tertipu hanya karena film yang ia tonton tak sama persis dengan bukunya.
Aku terkekeh melihat fenomena yang kupikir—ah masa jaman sekarang masih saja ada orang begitu. Maksudku, membandingkan sesuatu yang sudah jelas berbeda konteks. Bukannya membuat perbandingan apple to apple. Kan bodat bangeeettts.
Contoh apple to apple dalam membandingkan hp, harus flagship dengan flagship. Seperti Samsung Galaxy S10+ dengan iPhone X. bisa dibilang dua hp itu sama-sama pernah jadi 'jagoan' di pasar elektronik. Yaa kurang lebih gitu, intinya membandingkan hal yang setingkat. Bukan membandingkan iPhone 11 dengan Redmi 4A. Heh! kok malah jadi sales.
Oya, kalian pasti tahu kan, salah satu film yang lagi booming saat ini. Film yang diadaptasi dari satu buku yang penulisnya menjadi satu penulis favoritku. Novel Eka Kurniawan berjudul "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" akhirnya tayang juga.
Tahun 2019 silam, awalnya aku tidak tertarik untuk membaca buku itu. Namun, seniorku meyakinkah bahwa ini buku punya efek seru yang nyata. "Ah yang benar saja, Eka ini kan penulis paling favoritmu. Makanya kau bilang keren," batinku.
Lantas aku tetap saja mengambil buku itu. Itung-itung buat bahan bacaan kala senggang. Buku "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" yang kubaca adalah terbitan pertama dengan sampul yang dilukis sendiri oleh Eka. Sampul bergambar burung.
Seperti biasa, aku dan teman-teman selalu mendiskusikan buku yang tamat kami baca. Banyak respon yang mengatakan bahwa ceritanya menarik, seru dan asik. Bahasanya pun tak berat-berat amat seperti dalam skripsi. Eh.
Aku dan teman-teman telah menanti lama tayangnya film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas." Film yang awalnya bakal diputar tahun lalu, karna pandemi kopad kopid malah diundur. Tanpa pikir panjang, di hari pertama tayang, kami pun kebagian kursi untuk menonton film yang disutradarai Edwin.
Beruntung aku pergi menonton bersama teman-teman yang belum membaca buku Eka sama sekali. Alhasil, mereka tak terlalu berisik dan hanya berkomentar tipis-tipis, seperti:
"Percakapannya kaku, lalu seperti ada scene-scene yang terpatah," kata Rian.
Lalu Ade menyambut, "Bagus filmya, aku merasa tak ada yang aneh sih. Aku kalau diajak nonton lagi, mau. Tapi tetap pengen baca bukunya dulu."
Dan Janaek juga ikut beri komentar, "Aku suka pemeran Iteung. Dia seperti lebih dominan dari pada tokoh utamanya."
Namun, fenomena yang membuatku terkekeh adalah, banyak muncul para "kritikus film" dadakan. Mereka ini kebanyakan dari para pembaca buku yang entah mengapa, datang ke bioskop dan menonton film. Padahal jika para pembaca buku yakin bahwa film adaptasi buku atau novel takkan lebih bagus. Lantas mengapa mesti repot-repot datang dan menonton? Kan konyol.
Ini mengingatkanku pada film besutan sutradara Hanung Bramantyo. Film adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta Toer yang legendaris. Ya, Bumi Manusia sempat menjadi buah bibir pada tahun 2019. Aku memilih untuk tidak menontonnya sampai detik ini, sebab ada alasan tertentu.
Para pembaca buku sering merasa kecewa atas film yang tak sesuai. Lantas mereka berkomentar serampangan dibumbui sumpah serapah. Kebanyakan umpatan dan komentar tak bernas yang membuatnya terlihat stupid. Ini semacam reaksi spontanitas yang timbul dari diri seseorang. Bukan tanpa sebab musabab. Namun, lagi-lagi aku beranggapan bahwa, berkomentar tanpa dasar ilmu itu seperti kebodohan yang diumbar-umbar.
Namun, sialnya bagi mereka para "kritikus dadakan", film ini sudah kadung tayang. Mau tak mau, suka tak suka, uangmu tak akan kembali. Eka dan Edwin sudah sepakat atas apa yang menjadi karya-karya mereka. Dan kini, keduanya tengah makan enak dan menikmati hasil. Hahahaha.
Sapardi Djoko Damono pernah mengingatkan agar jangan pernah membandingkan buku dan film. Karya Guru Besar Ilmu Susastra FIB UI ini, berjudul "Hujan di Bulan Juni" juga sempat dilirik untuk tayang di layar lebar.
Namun, Sapardi tak ingin jika karya filmnya dibanding-bandingkan dengan novelnya yang laris manis di pasaran. Menurutnya, penjualan sebuah film adaptasi dari novel tidak bisa dibandingkan kesuksesannya dengan penjualan bukunya.
“Jadi begini, masalah kita membandingkan film dengan buku, enggak boleh. Film dengan film, buku dengan buku. Itu haram, enggak boleh ya. Jadi kalau kita mau bilang itu film bagus apa enggak jangan tergantung kepada bukunya, bukunya bisa lebih bagus, bisa lebih laris tetapi bukan itu masalahnya, dengan film lain dia bagus apa enggak? Buku saya juga begitu, kalau filmnya jelek apa buku saya jadi jelek? Kan enggak,” tutur Sapardi.
Ia berprinsip bahwa sesungguhnya jika ingin membandingkan elemen yang harus dibandingkan harus sama terlebih dahulu. Buku adalah sebuah karya seni yang mengandalkan kata-kata, sedangkan film bermain dalam elemen gambar.
Kekecewaan pada film adaptasi novel bukan hal baru di Indonesia. Kita dapat mengingat kembali kejayaan film Ayat-Ayat Cinta (AAC) pada 2008 lalu. Film yang memecahkan rekor Muri sebagai film dengan penonton terbanyak pada 2008 itu bukan hanya mengecewakan para pembacanya, tetapi juga kekecewaan pemeran.
Penghilangan adegan-adegan penting saja mungkin dapat mereka lakukan, tetapi di dalam film yang juga disutradarai oleh Hanung itu didapati banyak perbedaan signifikan dari novelnya. Mardiana (2011) dalam artikelnya bahkan mencatat ada 24 perbedaan signifikan antara isi cerita dalam film AAC dengan novelnya. Jadilah, rasa maklum tak terkalahkan rasa kecewa mereka.
Contoh lainnya, film seri Game of Thrones (GOT) yang diadaptasi dari A Song of Ice and Fire karya George RR Martin. Film GOT tayang perdana pada 2011 dan telah usai pada bulan Mei 2019. Artinya, film tersebut telah tamat. Padahal, Martin masih menulis lima dari tujuh novel seri yang diadaptasi dari film itu. Bayangkan, yang diadaptasi belum selesai ditulis, hasil adaptasinya telah tamat.
Dosen Bahasa Indonesia, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, mengatakan, memang perlu sebuah pemahaman yang mendalam agar pembaca novel tidak melulu membaca bacaan favoritnya yang diadaptasi ke layar lebar. Kita harus menyadari, meskipun dapat saling mempengaruhi, novel dan film secara signifikan berada di ranah yang berbeda. Novel adalah karya berstruktur teks yang amat kompleks, sedangkan film adalah karya berstruktur audiovisual yang kompleksitasnya terbendung waktu pengerjaan yang tak lebih dari tiga jam.
Sementara, novel sangat didukung oleh kepentingan individu, film—apalagi film komersial—sangat bergantung pada kepentingan kolektif: pemilik modal/rumah produksi, penulis sutradara, produser, aktor, pasar, dan sebagainya, ditambah lagi, jika film tersebut adalah adaptasi, penulis kepentingan juga masuk di dalamnya.
So, para pembaca buku yang budiman. Yang pergi ke bioskop lantas kecewa, semoga kenyang dengan komentarmu. Tetaplah berkomentar dan jangan berkarya. Salam kalem. Ngehehehe.