Penulis: Mesy Azmiza Azhar
“Kalau bapak jadi Presiden, orang miskin bapak bunuh,” celetuk Guru Ekonomi-ku sewaktu sekolah dulu. Spontan satu kelas tertawa mendengar omongannya.
“Syukurlah orang jahat seperti bapak tidak jadi Presiden,” gumamku.
***
Setelah lulus sekolah dan jadi mahasiswa, baru kusadar pernyataan ekstrim begitu tak pantas diucap oleh seorang guru. Kalau Guru BK dengar omongan bapak ini, pasti kena tabok tuh si bapak.
Tapi kupikir-pikir lagi, setelah lulus kuliah, ucapan Guru Ekonomi-ku tidak sepenuhnya salah. Kucoba membalikkan pikiranku, bahwa ada benarnya juga kalimat itu jika dibawa ke dalam sebuah sistem negara.
Kebetulan sekali, aku ini mahasiswa hukum. Di ruang kuliah, aku dipaksa memikirkan kesejahteraan negara, mencari kebijakan untuk memulihkan kehidupan negara, menegakkan keadilan dan hal-hal utopis lainnya yang sebenarnya tidak bisa dibuktikan keberadaannya.
Imajinasi inilah yang dibangun oleh para mahasiswa hukum saat nongkrong di kedai kopi, sambil menenteng laptop Asus-nya, atau Macbook yang tidak sudi dibilang laptop.
Jadi kalian harus tau kalau anak hukum sedang nongkrong bukan sekadar seruput Latte atau Greentea dan Taro. Tapi kami menghalu dalam imajinasi yang dibuat oleh orang-orang terhadap “negara ideal”. Imajinasi inilah yang kami pelajari dan jaga.
Omong-omong kembali kepada ucapan guruku waktu itu. Ya! bayangkan jika, pernyatan itu diaminkan lewat regulasi akbar dari negara. Maka, barangkali tidak akan ada orang yang mau miskin, tidak ada orang yang secara sukarela mengatakan bahwa, “Ini adalah takdir tuhan, jalani saja,” jika tidak, kepalamu bisa puntung dibuat negara.
Betapa indahnya memang melihat rumah makan tanpa pengamen, lampu merah tanpa manusia silver, atau barangkali tidak ada orang yang minta-minta di tepi jalan.
Namun, bijakkah jika kita punya pemikiran semacam itu? Coba dengar dulu pendapatku ini.
Setauku, manusia takut mati, termasuk aku. Untuk itu, cukup meyakinkan bahwa upaya “genosida” mungkin jalan yang tepat untuk mensucikan negara dari kotornya kemiskinan. Bayangkan saja, tiap orang akan berlomba-lomba menjadi kaya sementara kepala mereka ditodong oleh senapan.
Juga, tidakkah kalian sadar bahwa sering terjadi konflik antara si kaya dan si miskin?
Seorang filsuf Jerman abad ke-19, Karl Marx, coba berusaha meyakinkan kaum proletar untuk membuat konflik kepada kaum borjuis, sebab kala itu kaum proletar direndahkan dan diinjak-injak. Hingga muncul sebuah gerakan besar untuk melawan kaum borjuis.
Anehnya, pergerakan kaum proletar bergeser makna menjadi kaum pekerja yang sekadar harus dipenuhi hak-haknya.
Tetapi kembali lagi, mereka tetap miskin, yang kaya tetap borjuis. Karl Marx tidak mengubah nasib si kaum pekerja itu. Sejak kepergiannya, tidak ada warisan teori dari filsuf itu untuk membuat manusia menjadi kaya. Sebab pada dasarnya, orang miskin itu sendirilah yang menghalangi kesejahteraan mereka sendiri—negara.
Tetapi tunggu dulu, setidaknya orang-orang proletar bisa berterima kasih kepada filsuf satu ini, barangkali karena dia pun kita mengenal May Day.
Setiap awal bulan Mei, berita tentang May Day bermunculan di televisi. Para pekerja menuntut hak-hak dan jaminan sosialnya kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Demonstrasi tampak seolah seperti formalitas umum dan struktural, semacam agenda tahunan.
Para buruh berkumpul menyiarkan keinginan mereka di depan kantornya, yang sedang kosong. Wong hari libur. Hehehe..
Pada akhirnya mereka pulang ke rumah. Berkumpul dengan anak istri atau pula suami, makan lauk teri sambal terasi dengan kerupuk. Kemudian berangkat kerja kembali esok harinya dan menunggu tanggal 1 Mei berikutnya.
BACA JUGA: Kita itu Sebenarnya ‘Bekerja’ atau ‘Dikerjai’ Sih?
Karl Marx punya jasa besar atas ini. Bukan?
Sementara di balik itu, ada pemerintah bersama mahasiswa hukum berlomba mencari kebijakan untuk menegakkan keadilan dan memberikan rayuan atas kesejahteraan masyarakat, yang sebenarnya sama sekali tidak dapat dibuktikan keberadaannya. Memangnya bisa?
Kebijakan dan regulasi yang dibuat pemerintah, tidak lebih dari omong kosong untuk berlindung di balik “mencari keadilan”.
Lalu, bagaimana kalau kita buat suatu gebrakan yang dikatakan oleh Guru SMA-ku, bahwa kemiskinan yang menghalangi atas kesejahteraan itulah yang justru harus dimusnahkan. Lebih tepat orang-orangnya.
Baiklah, sulit memang untuk mempercayai omonganku ini. Tapi mari kita lihat ke belakang, taruhlah ini sebagai analogi agar kalian paham maksudku.
Desember 2020 lalu, pemerintah cukup naif. Peristiwa ini dikenang sebagai suatu langkah tidak berguna, dalam benak ku.
Saat itu, Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan. Pendek cerita, FPI ini mempunyai tujuan untuk memformalitaskan Islam di dalam konstitusi. Padahal hal tersebut tidak sesuai dengan ideologi Indonesia yang bertekuk lutut terhadap Pancasila.
Secara resmi Ormas ini dibubarkan, karena mencoreng sekaligus menodai keharmonisan bangsa Indonesia yang isinya bukan hanya punya satu agama, budaya atau pun ras.
Soal sejarah, visi, misi, dan siapa pemuka FPI, kalian bisa cari sendiri di Google, Youtube, Instagram dan platform media sosial lainnya
Dan Voila! Kamu menemukannya. Karena begitu maksudku. Bubarnya Ormas ini tidak serta merta menghapus informasi terkait tentangnya. Bubarnya FPI tidak serta merta mematikan orang-orang di dalamnya.
Ingat, bahwa pemerintah hanya membubarkan FPI, yang boleh jadi merupakan fiksi hukum yang dibuat oleh pemukanya. FPI itu tetap ada meski bagaimanapun pemerintah telah memangkas mereka. Begitu pula yang dikatakan oleh ketua FPI, Habib Rizieq, “FPI boleh saja dibubarkan, tetapi kaumnya tetap ada."
Dan FPI bukan satu-satunya ormas yang dibubarkan, mengingat tahun 2017 yang lalu, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) juga menjadi ormas yang dilarang. Kamu pikir HTI hilang begitu saja? Jawabannya tentu tidak. Masih ada orang yang di dalam hidupnya tinggal di Indonesia tetapi anti dengan Pancasila. Ini wajar, karena pemerintah memang tidak melakukan apa-apa, sama sekali tidak melakukan apa-apa.
Apakah kamu setuju atas perkataanku yang menyatakan bahwa, “Peristiwa ini dikenang sebagai suatu langkah tidak berguna?”
Yang pemerintah lenyapkan adalah sesuatu yang tidak berdaging, tidak bertulang tidak bernyawa. Tetapi melenyapkan mitos dan imajinasi yang diciptakan oleh manusia dalam menggambarkan sesuatu yang ada di mata mereka. Bagaimana mungkin? Itu mustahil.
Sekarang Tarik nafas, Dan mari sama-sama kita amati bahwa terlihat masuk akal juga apa yang dikatakan Guru Ekonomi-ku itu.
Pasti kamu, feminis dan para kaum SJW (Social Justice Warrior) bakal meludah mentah-mentah soal tulisanku ini. Tidak berprikemanusian, tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir lebih jernih, dan ejekan lain yang tidak bisa aku dengar ketika tulisan ini sampai kepada kalian.
Sama seperti guruku waktu itu, celoteh dan sumpah serapah hanya bergelambir dalam hati muridnya. Sementara dia tetap hidup setelahnya. Sementara aku, menunggu tujuh tahun untuk memahaminya.
Mesy Azmiza Azhar, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia.