Oleh: Rinai Bening Kasih
Kalau orang miskin boleh nego sama Tuhan, mereka pasti akan memilih untuk tidak usah dilahirkan. Tidak perlu repot-repot berpikir untuk membunuhi orang yang setiap detiknya sudah memimpikan kematian.
***
Lagi asyik-asyiknya swipe Instagram, saya dikejutkan oleh postingan Asique. Ada tulisan baru berjudul Kalau Bikin Susah Negara, Bagaimana Jika Orang Miskin Digenosida Aja!
Judul yang sangat bombastis. Tapi saya pantang terjebak umpan klik, jadi saya harus baca keseluruhan tulisan lebih dulu.
Pada awalnya saya berpikir itu sebuah tulisan satire. Tapi semakin saya baca, tidak saya temukan unsur-unsur satire di dalamnya. Esai yang ditulis oleh Mesy Azmiza Azhar itu seterang judulnya. Secara harfiah ia berpendapat, gimana kalau kita bunuhin aja orang-orang miskin?
Ada begitu banyak hal yang bisa dipertanyakan dalam esai itu. Pertama, kita harus definisikan dulu apa miskin itu? Kenapa orang bisa miskin? Kalau kata penulis, orang miskin karena takdir. Ini sangat bisa didebat.
Dalam ilmu agama, takdir adalah ketentuan Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Contohnya; kita lahir di Indonesia, anak dari ayah dan ibu kita, saya terlahir sebagai Rinai, penulis terlahir sebagai Mesy. Itu semua adalah takdir dan kita tidak bisa mengubahnya walau matahari terbit dari utara sekalipun. Jadi, apakah kemiskinan tidak bisa diubah?
“Sejak kepergiannya (Karl Marx), tidak ada warisan teori dari filsuf itu untuk membuat manusia menjadi kaya. Sebab pada dasarnya, orang miskin itu sendirilah yang menghalangi kesejahteraan mereka sendiri”, tulisnya. Kenapa miskin dan kayanya seseorang malah jadi tanggung jawab Marx?
Paragraf demi paragraf yang ditulis Mesy seperti saling mengkhianati satu sama lain. Ia menulis suatu argumen yang kemudian dibantahnya tanpa sadar persis di paragraf selanjutnya.
Ia mengatakan bahwa orang-orang miskin dibunuh saja jika menyusahkan negara, tapi menganggap kelakuan pemerintah dengan membubarkan Front Pembela Islam (FPI) melanggar Pancasila. Lho, bukankah membunuh orang hanya karena mereka miskin itu menentang tidak hanya satu, tapi lima sila sekaligus?
Kemudian, penulis mencatut nama Karl Marx untuk mengkritik orang miskin. Bukankah itu sebuah ironi? Penulis juga bilang kalau kaum proletar seharusnya bisa berterima kasih pada Karl Marx karena berkat Marx kita mengenal May Day atau Hari Buruh. Padahal, apa hubungannya May Day dan Karl Marx?
May Day lahir dari peristiwa kerusuhan masyarakat yang melakukan unjuk rasa tahun 1886 di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Tidak ada hubungannya dengan Marx si orang Jerman yang sudah mati tiga tahun sebelumnya. Di tahun segitu, belum tentu juga buah-buah pemikiran Marx sudah sampai ke Negeri Paman Sam.
Lagian, ada ratusan orang ditembaki secara brutal saat kerusuhan di Illionis itu. Para aktivis buruh difitnah dan tak diadili sebagaimana mestinya. Itu kejahatan kemanusiaan! Ah, tapi tentu saja enggak nyambung bicara kejahatan kemanusiaan pada penulis yang mendukung genosida. hehe...
BACA JUGA: Membandingkan Buku dan Film Adalah Bentuk Kebodohan yang Diumbar-umbar, Lawak Betul!
Argumen "Orang miskin sendirilah yang menghalangi kesejahteraan mereka sendiri" itu cukup lucu bagi saya. Apa penulis enggak tahu ya, kalau orang miskin itu justru barang dagangan paling laku oleh negara? Sudah dua tahun ini Indonesia meminjam banyak sekali uang untuk membantu orang-orang miskin yang terdampak pandemi, buat bansos katanya. Tapi yang ngambil siapa? Juliari Batubara! Hehehe.
Kalimat yang tak kalah fantastis adalah "Betapa indahnya memang melihat rumah makan tanpa pengamen, lampu merah tanpa manusia silver, atau barangkali tidak ada orang yang minta-minta di tepi jalan", lalu penulis memberikan kesimpulan; ya sudah, bunuh aja, karena kemiskinan enggak akan hilang kalau orangnya enggak dibinasakan sekalian.
Jika ada yang merasa ingin membunuh seseorang hanya karena orang itu mengganggu pemandangan, emm.... are you okay? Mungkin butuh janji temu dengan psikiater atau sejenisnya?
Sebenarnya saya sangat sepakat dengan kalimat penulis itu. Memang akan indah sekali rasanya melihat rumah makan tanpa pengamen, lampu merah tanpa manusia silver, dan jalanan tanpa orang minta-minta. Saya kira keindahan itu seharusnya bisa diwujudkan dengan kesetaraan ekonomi semua orang, eh ternyata yang dimaksud penulis adalah pembunuhan. Oalah...
Ingin saya sampaikan pada penulis, orang miskin tidak semuanya bertingkah memiskinkan diri sendiri. Orang miskin bukan karena tidak bekerja. Kepala orang-orang miskin tidak perlu ditempeli moncong senjata biar mau bekerja. Justru, orang miskin bekerja lebih keras daripada kita, sebab hanya dengan bekerja mereka bisa bertahan hidup untuk satu hari berikutnya. Kemiskinan juga terjadi karena sistem dan negara berperan besar di dalamnya.
Kalau orang miskin boleh nego sama Tuhan, mereka pasti akan memilih untuk tidak usah dilahirkan. Tidak perlu repot-repot berpikir untuk membunuhi orang yang setiap detiknya sudah memimpikan kematian.
Tapi, tentu saja, saya sangat naif jika meminta empati penulis. Bagaimana mungkin kita bisa berempati di dalam cafe yang dingin sambil menyesap nikmatnya Latte, Greentea atau Taro? Saat berkendara di dalam mobil yang nyaman, terlindung dari panas dan polusi laknat jalanan, tentu melihat manusia silver nemplok di jendela yang sudah dicuci itu menyebalkan sekali rasanya.
Pada dasarnya, manusia memang bebas beropini. Karena itu perlu saya tegaskan bahwa saya tidak menyalahkan pemikiran Mesy dan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadinya. Manusia bebas berpikir dan berpendapat se-ndablek, seekstrim dan selancang apapun itu. Asalkan opini itu disimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak mengusik hak manusia lainnya.
Apalagi, Mesy juga sudah memberi sanggahan di akhir tulisannya, bahwa segala komentar yang tidak setuju dengan tulisannya tidak akan bisa ia dengar. Artinya, ia sadar sepenuhnya dengan apa yang ia tulis. Ia berpegang teguh pada pendapatnya itu, walau sejak awal premisnya sudah bertentangan dengan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara."
Penulis juga mendasari tulisannya dengan argumen bahwa orang miskin menyusahkan negara, padahal negara sendiri yang nyusahin dirinya untuk mensejahterakan orang miskin dengan membuat UU nomor 13 Tahun 2011. Penulis kan sarjana hukum, seharusnya lebih tahu dari saya yang cuma nyicip Fakultas Hukum selama tiga semester ini.
Saya bukan feminis, saya juga bukan SJW. Kalau meledek orang SJW sih, saya sering. Tulisan ini saya buat bukan untuk mencari permusuhan. Saya menghormati seratus persen pendapat Mesy. Kebebasan berpendapat adalah hak semua orang selagi masih menginjak negara bernama Indonesia ini.
Tapi perlu diingat, Asique sudah mempublikasi tulisan itu sehingga saya bisa membacanya, orang-orang miskin bisa membacanya, aktivis kemanusiaan bisa membacanya. Maka, hak saya pula untuk berpendapat dan memberi kritikan terbuka.
_______________________________________
Rinai Bening Kasih, jurnalis paruh waktu.